Aku tidak suka berkenalan di belakang, melainkan langsung saja tanpa basa-basi dan segala kecerewetanku. Pemuda gondrong ini ialah aku, Abe. Memang itulah nama panggilanku dari nama lengkapku, tetapi aku tidak ingin mengungkapkan nama lengkapku sekarang. Memang aku enggan mengungkapkannya pada kalian.
Kalau kalian bertanya tentang diriku, biarkan aku yang menceritakannya. Tentang harapan pada masa depanku, juga ingin dicintai orang-orang tersayang. Yang membuatku merasa kesepian, tidak ada orang sekitarku yang menyayangiku. Entahlah, aku hanya ingin orang lain tahu bahwa aku juga ada untuk mereka.
Memang, aku penyendiri di keluargaku. Entah, apakah aku memang selalu menyendiri atau mereka yang membuatku jadi penyendiri. Sudah terbiasa menyendiri saat aku duduk di bangku SMP dan memang tidak ada yang mau menerimaku. Padahal aku ingin memiliki satu atau dua teman, tetapi mereka masih enggan mendekatiku, apalagi mengajak berteman. Seperti aku tidak memiliki support system dalam hidup.
“Abe, kamu nggak mau pergi berlibur tahun baru ke Jakarta?” Ibu bertanya padaku saat kami berkumpul keluarga untuk makan malam. Hanya hidangan nasi, lele goreng, sayur asam, sambal bawang, beserta lalapan.
“Biasanya, kamu ingin sekali pergi ke Jakarta karena penasaran,” sambung Ayah.
“Abe nggak pernah deket sama teman-teman Abe, jadi, buat apa Abe ikutan liburan tahun baru bareng mereka?” aku lantas bertanya balik.
“Yah, bagaimana pun juga, mereka juga membutuhkanmu, kan?”
Aku sejenak melirik Paul — dia kakakku — yang langsung membuka suara sembari menyantapkan sayur asam.
“Nggak deh, Bang,” aku kembali menolak. Lagipula, mereka sudah berangkat ke Jakarta sejak tadi pagi. Untuk apa aku harua menyusuli mereka tanpa alat transportasi?
“Padahal Jakarta itu keren banget kalau aku lihat dari videonya teman dekatku. Sayang banget kalau kamu nggak ikutan bareng mereka.”
Paul tidak tahu bagaimana aku tidak pernah didekati teman-teman kampusku. Meskipun aku sudah mengatakannya, pun dia masih belum memahamiku. Ketika jemari Ibu langsung menyentuh dan menggoyang pelan sebelah pundakku, aku lantas mengabaikan Ibu dengan terus menyantapkan lele goreng. Kata beliau, sih, aku memang tidak perlu ikut bersama mereka.
“Kamu menemani kita bertiga di sini saja sudah cukup kok.” Ayah lantas tampak senang padaku, membuatku ikut tersenyum.
Namun, apakah itu sudah cukup bagimu?
Entahlah.
Aku hanya berakhir menyendiri di kamar, memerhatikan langit malam yang akan dihiasi kembang api. Ketika orang tuaku dan Paul justru memilih menonton film bersama di ruang keluarga, aku tetaplah menyendiri di kamar. Mereka memang pernah mengajakku, tetapi aku menolak. Kenyataannya, mereka tak lagi mengajakku karena aku menolak satu kali.
Memang, tempat ternyamanku hanyalah kasur empuk. Menunggu pergantian tahun baru, kugeletakkan kertas dan pena hitam di meja lipatku. Bukan untuk mencurahkan apa yang ingin aku tumpahkan, melainkan keinginanku untuk menyelamatkan masa depan. Namun, sejenak aku menjadi sedih, padahal harus menantikan pergantian tahun baru.
Yang bisa kulakukan hanya menuliskan apa yang bisa kutumpahkan.
Mama, Papa, dan Abang Paul, aku berharap ingin menjadi orang yang bahagia dan orang yang akan membuat kalian patut bangga dan bahagia. Karena aku sudah tidak memiliki siapapun yang berteman denganku. Hanya kalian yang mampu menemaniku kala aku terpuruk di luar. Maafkan aku karena memberatkan perasaan kalian, juga tindakanku yang melukai kalian.
Mulai tahun ini, tahun 2022, biarkan aku ingin menyelamatkan masa depanku dan saling berbahagia. Bersama kalian yang membuat rukun keluarga menjadi utuh. Kalian tidak apa-apa melihatku yang sedih ini karena merasa kesepian di luar. Aku akan mencoba untuk kemana-mana lebih baik sendirian, menelusuri sesuatu yang belum kutemukan dalam hidup. Asalkan, aku ingin membahagiakan kalian.
Selamat tahun baru 2022, Mama, Papa, dan Abang Paul.
Anak bungsu,
Abe.