Cerita ini menggunakan sudut pandang Indira sebagai orang pertama.
Hari kelulusan sekolah menengah atas merupakan suatu kebahagiaan kecil yang berhasil kulewati. Berjuang keras lewat darah, keringat, dan air mata, aku menganggap kelulusan ini menjadi yang paling berharga dalam hidupku. Giatku dalam meresapi berbagai ilmu pelajaran yang memfrustrasikanku serta waktuku yang cukup berantakan karena hidupku hanya belajar, belajar, dan belajar. Dan semua proses itu telah kutuntaskan. Apapun nilai kelulusanku, kuterima dengan baik.
Kujadikan nilai kelulusanku sebagai cerminan hidup sebelum aku melangkah masuk ke universitas.
Sayangnya, satu hal yang tak pernah luput dariku ialah melihat teman-temanku berfoto bersama keluarga 'utuh’. Rasanya memilukanku. Yang lebih iri lagi adalah fakta bahwa ada teman-teman yang melibatkan keluarga besar dalam momen kelulusan. Memamerkan pakaian wisuda yang lengkap, dengan topi toga, selendang toga, dan jubah toga. Pandangan terindah itu mana mungkin aku bisa.
Itu karena orang tuaku tak datang ke acara wisudaku. Mereka bernama Haryono dan Herlina, pasangan suami-istri yang entah mengapa akhir-akhir ini menjadi tidak akur. Dulu, mereka selalu meributkan kewajiban Ibu dan Ayah yang membuatku terbengkalai. Katanya, sih, Ibu selalu pulang bekerja terlalu larut, tetapi Ayah juga disalahkan karena mengabaikanku yang pulang sekolah alih-alih berkas kasus yang menumpuk di meja kerja. Dan mereka selalu menyalahkan satu sama lain semenjak mereka pulang.
Sekarang, mereka sudah pisah rumah tanpa adanya 'perceraian', yang baru berjalan sekitar satu bulan. Itu terjadi saat aku libur sekolah setelah ujian nasional. Ibu yang menyuruhku untuk tinggal bersamanya, tetapi Ayah juga justru mengatakan demikian. Seolah perebutan hak asuhku. Aku tidak bisa memutuskan tinggal bersama siapa karena yang kuinginkan hanyalah mereka tinggal bersamaku.
Bukankah itu sungguh miris dan jauh lebih miris?
Hanya aku yang tak bisa mengambil foto bersama orang tuaku. Semakin memfrustrasikanku dan melumpuhkan momen bahagia terkecilku. Itu karena orang tuaku sudah pisah rumah, tetapi kata 'perceraian' tak pernah sampai ke telingaku. Hanya saja aku menjadi sangat kesepian, bahkan bisa kuanggap diriku seperti tak dianggap. Ditambah lagi, ini hari kelulusanku dari sekolah menengah atas, tetapi orang tuaku tak pernah datang.
“Indira?”
Seseorang memanggilku ketika aku duduk memojok di bawah tangga gedung aula bertingkat. Selama ini, aku hanya bersembunyi karena aku merasa malu dan memalukan. Ditambah lagi aku tertangkap oleh seseorang yang dapat mengetahui eksistensiku.
“Ayah cariin kamu kemana-mana, lho!”
Itu ayahku, yang entah bagaimana bisa dia muncul kala aku menangisi nasibku.
“Dan ... kenapa kamu nangis?” Melihat Ayah yang memerhatikan wajah sembabku, kucoba menahan tangisan memalukan ini.
“Di mana Ibu?” Namun, aku masih menyebutkan seorang perempuan yang tak muncul dihadapanku, yaitu ibuku. “Bukankah kalian akan pergi bareng di hari kelulusanku? Kalian lupa sama janji Indi?”
Ayah hanya diam saja, alih-alih tersenyum haru karena melihat penampilanku yang entah masih tetap cantik.
“Indi, tuh, berharap Ayah dan Ibu datang ke acara wisuda Indi. Walaupun Indi tahu kalian sudah pisah rumah. Tapi Indi sudah capek nahan iri sama teman-teman Indi yang senang banget bisa foto bareng keluarga utuh mereka. Indi cuman ingin foto bareng kalian kayak mereka sebelum kalian mungkin mau cerai.”
Ayah hanya bisa mengucap, “Maafkan Ayah, Nak.”
“Maaf buat apalagi?!” gertakku memecahkan tangisanku. “Harusnya kalian nggak usah datang ke acara wisuda Indi kalau kalian nggak bisa tepati janji Indi!”
“Ayah udah berusaha agar Herlina—”
“Herlina, bukan Ibu?” potongku cepat, kupikir bahwa mereka benar-benar akan bercerai. “Jadi, kalian beneran mau cerai?”
“Nggak gitu, Indira.” Ayah sejenak menarik napasnya dalam-dalam. “Ibu juga ingin datang bareng Ayah, tapi Ibu ada pertemuan mendadak dengan—”
“Ibu macam apa yang mentingin kerjaan daripada acara kelulusan anak semata wayangnya ini?” Aku sengaja mencemooh Ibu karena tingkat egonya yang tinggi.
Memang fakta bahwa Ibu yang membuatku terpuruk, sedangkan Ayah selalu mengurusiku dengan baik.
“Tapi, kan, ada Ayah di sini, Nak.” Bagaimana pun Ayah berusaha, tetap saja yang kuinginkan hanya keluarga utuh.
“Indi tahu, kok.” Aku hanya bisa tersenyum miris nan pahit seraya mengusap air mataku. “Foto keluarganya kapan-kapan aja. Sayang banget muka Indi jadi jelek karena make up-nya luntur.”
“Indira,” Ayah kembali memanggilku, “Maafin Ayah, ya?”
“Ngapain minta maaf?” Seharusnya aku tidak bertanya jika jawabannya sudah tahu.
“Ayah sebisa mungkin nggak akan pisah dari Ibu.”
“Kalau kalian cerai?”
Ayah hanya mengulumkan bibirnya, sudah seharusnya mereka berpisah. “Ayah beneran nggak akan biarkan perceraian terjadi, Nak.” Kemudian, Ayah juga sebisa mungkin menahan isak tangisnya.
“Sekarang kita pulang ke rumah, ya, Nak?”
Ayah pun menggenggam jemariku, membawaku ke mobil sedan hitam yang terparkir di lapangan. Genggaman itu semakin mengerat, justru seperti itulah perasaanku yang semakin tak membaik. Siapa yang menjadi pengacau di hari kelulusanku dan siapa pula yang memulai perpecahan. Dan siapa pula yang sudah merusak hidupku yang menjadi penuh iri.
“Kok jadi kamu yang jemput Indira?”
Dan lihatlah siapa yang tiba-tiba menambah suasana menegangkan dalam keluarga?
Aku dan Ayah baru sampai di rumah minimalis, tempatku dan Ibu hidup berdua. Namun, Ibu ternyata berada di sana juga, dengan mengenakan pakaian dinas yang lengkap. Pertanyaan itu dilontarkan kepada Ayah, tetapi aku juga merasa terganggu.
“Kan, sudah saya bilang, biar saya yang menjemputnya,” lanjut Ibu.
“Katamu ada meeting dadakan. Gimana, sih?” ketus Ayah sembari menyuruhku untuk kembali ke kamar. Namun, langkah kakiku hanya terhenti sampai di depan pintu kamarku.
“Tapi kamu harusnya jangan menjemputnya kalau kamu masih mentingin kerjaan kantormu yang nggak kelar-kelar!” gertak Ibu yang terdengar tidak mau mengalah.
“Dia itu kesepian! Dia juga butuh dijemput, jadi, kalau saya bisa menjemputnya, saya yang kesana!” balas Ayah dengan intonasi tinggi yang masih berusaha mencoba bersabar.
“Itu sama saja kamu nyerobot tugas saya!”
“Kalau saya bisa menjemputnya, lantas kenapa?!”
“Harusnya kamu mikirin kantor saja daripada nyerobot tugas saya!”
“Itu sudah tanggung jawab saya juga!”
“Tidak! Kamu lebih mentingin kerjaan!”
“Kamu itu kenapa, sih?!”
“Bisakah Ayah dan Ibu berhenti bertengkar?!”
Aku mengumpulkan tenaga sebanyak mungkin untuk meneriaki orang tuaku yang semakin memanas. Mereka akhirnya memerhatikanku, dan lagi-lagi pipiku dibanjiri air mata. Semakin memanas perdebatan mereka, seharusnya mereka sudah kehilangan bantahan. Namun, mereka tetap mengulangi kesalahan yang barusan diperdebatkan.
“Ayah ... Ibu ... tidak, maksud Indi ... kepada Haryono dan Herlina yang Indi hormati ....” isakku yang mencoba meredakan sekaligus menahan sesak yang menyerang bagian dadaku. “... Indi udah mulai beranjak dewasa, sudah berumur 18 tahun. Kalau kalian malah ributin siapa yang bisa jemput Indi, harusnya Indi bisa pulang sendiri!”
Baik Ayah dan Ibu, mereka terperangah syok.
“Indi punya banyak uang kok buat mesen taksi, tetapi kalian malah meributkan hal yang sudah seperti hak asuh Indi. Dan Indi udah bukan anak manja yang ributin Ayah atau Ibu buat cepat-cepat minta jemput Indi. Tapi apa yang Indi dengerin tadi, itu sudah memuakkan hidup Indi! Kalian semua jatuhnya jadi egois!”
Perlahan-lahan, rasa sesakku mulai mereda setelah aku meluapkan semua kemarahanku. Ayah dan Ibu masih bungkam, namun tampak sekali tak ada garis ekspresi penyesalan. Mereka hanya saling melirik satu sama lain sebelum mereka mengalihkan pandangan ke arahku.
Lirikan kemarahanku mengalahkan ego dan pertengkaran mereka.
“Pas acara wisuda tadi, Indi berkali-kali ingin nahan nangis karena kalian nggak datang, padahal Indi sudah berjanji pada kalian buat datang. Indi, tuh, iri banget pas lihat teman-teman Indi pada foto bareng keluarga utuh mereka. Karena yang sebenarnya yang ingin Indi harapkan hanyalah kalian!”
Mau sampai kapan aku bisa memarahi mereka, yang tak pernah menurunkan tingkat ego. Mereka, yang bernama Haryono dan Herlina, tak seharmonis seperti dulu saat mereka selalu menyayangiku dan memperlakukanku sangat baik. Namun, sekarang, karena karir yang tak bisa ditinggalkan, semuanya kacau dan egois.
Justru akulah yang merasa terabaikan.
“Indi ingin banget kalian bisa akur, seperti dahulu lagi. Biarpun kalian mentingin karir masing-masing, jangan abaikan kasih sayang Indi juga. Indi juga ingin banget liat kalian akur lagi, yang biasanya senang banget ngobrol tiap pagi di teras rumah bersama secangkir teh hangat.” Air mataku masih tak terbendungi.
“Kalau kalian pisah dan cerai, di mana letak jiwaku yang sudah tidak tergoyahkan ini sekarang?” Kemudian, aku menangis kembali saat mereka akhirnya memelukku.
Barulah Ibu akhirnya menangis, begitu juga Ayah yang hanya bisa memelukku lebih erat. Berkali-kali mereka meminta maaf padaku, mengutarakan rasa penyesalan mereka. Lagi-lagi rasanya sulit menahan tangisku. Mereka yang terlihat menyayangiku sepenuh hati, namun mereka telah dibutakan ego yang lebih mementingkan karir seperti orang akan mati tanpa berkarir.
Aku tahu, orang tuaku ini berkarir semua di bidang masing-masing. Ayah yang selalu sibuk dengan kantor kejaksaan dengan berkas-berkas kasus yang tak terpecahkan, sedangkan Ibu baru saja meniti karir sebagai pewara di bidang periklanan televisi. Mereka semua sibuk, sampai aku merasa terabaikan. Andaikan aku sejak duduk di bangku sekolah dasar selalu belajar memasak, aku bisa memasak sarapanku dengan lauk-pauk seadanya. Akan tetapi, rasanya tidak akan sama jika tak ada kumpul-kumpul layaknya keluarga kecil yang bahagia.
Sekarang, aku tidak tahu bagaimana kedepannya. Tak pernah kulewatkan titipan doa kepada Tuhan, agar keluarga kecilku ini tetap utuh. Yang aku inginkan hanya melihat orang tuaku utuh, saling melemparkan senyuman penuh kasih sayang. Karena umurku akan beranjak dewasa, aku berusaha untuk membahagiakan mereka dengan segala pencapaian kecil yang kudapatkan.
Hanya itu saja yang kuinginkan.
END.