Dalam Namamu

Sigi
8 min readOct 15, 2021

--

Orang-orang percaya bahwa jodoh akan datang sendiri. Tidak dalam keadaan terpaksa ataupun dipaksakan. Yang pasti jodoh akan datang sendiri jika kita berusaha yang terbaik dan berdoa. Pergi ke tempat ibadah sesuai agama dan menurut keyakinan masing-masing, kemudian mereka harus melakukan sesuatu demi mendapatkan hati jodoh. Tak pernah luput menyebutkan nama seseorang dalam doa, meskipun Tuhan ‘mungkin’ berkata lain.

Sudah melakukan pendekatan, tinggal meyakinkan diri bahwa proses pendekatan akan berubah ke tahap perasaan yang serius. Iya, Kang Yeosang sudah pasti percaya bahwa takdir akan mengabulkan permintaannya, meskipun mungkin saja tidak sesuai harapan. Dirinya sadar diri, bahwa ia cukup tertutup pada siapapun. Namun, Yeosang selalu berpegang teguh pada keyakinannya jika berbicara tentang jodoh.

Dalam artian, kerja keras akan membuahkan hasil.

“Kamu sudah makan atau belum?” Munafik jika Yeosang mendekati Jo Serim , gadis kutu buku yang menawan, hanya sekadar pertanyaan yang terucap.

“Kamu pasti ada maunya, kan?” Sudah ditebak bahwa setiap Yeosang bertanya, pasti jawabannya begitu.

“Aku hanya menemanimu saja daripada kamu kesulitan mencari teman makan,” bantah Yeosang terus memegang buku catatan kuliahnya — tidak, lebih tepatnya catatan bahan tugas akhir.

“Karena kamu selalu perhatian padaku…,” Serim langsung menutup bukunya, “…aku terima ajakanmu.”

“Hehe, kupikir kamu akan menolak.” Yeosang menggaruk tengkuknya yang sebetulnya hanya pegal-pegal.

“Ah, sangat disayangkan, Choi Yeonjun sibuk dengan organisasinya. Sudah pasti aku akan mengajaknya.”

Nama yang terucap dari bibir tipis Serim perlahan memudarkan percaya diri Yeosang. Pegangan teguh yang ia genggam mulai terlepas, kala sosok itu masih disinggung seolah Serim ingin bersama Choi Yeonjun. Bukan karena patah hati akibat keyakinannya berbanding terbalik, tapi juga Yeosang hanya ingin makan berdua saja. Hanya senyum tampannya yang masih tersungging.

“Lupakan saja. Kapan-kapan saja aku bisa mengajak Yeonjun jika dia punya waktu luang.” Serim bahkan masih menyebutkan nama orang itu. Lebih jelasnya lagi masih terpancarkan aura periangnya hanya padanya, bukan Kang Yeosang.

“Kamu benar.” Menjawab sesingkat itu saja semakin melebarkan pancaran bahagia Serim dari wajah manisnya. “Kamu bisa mengajaknya makan bersama jika dia punya waktu luang. Kalau dia diajak makan, berarti ada sesuatu yang baik darimu.”

“Benarkah?” Serim mengernyit. “Bagaimana kamu tahu?”

“Tentu saja aku tahu! Dia juga sahabatku, bahkan dia sendiri yang menceritakannya padaku!” jelas Yeosang dengan menutupi ekspresi munafiknya.

“Ah, aku baru mengetahuinya!”

Setidaknya Jo Serim sudah mengetahui satu hal. Bahwa ternyata Kang Yeosang dan Choi Yeonjun adalah sepasang sahabat. Setidaknya Yeosang sudah memberitahu dengan gamblang, meskipun harus terpaksa agar Serim harus tahu. Logikanya, jika Serim dekat dengan Yeonjun, setidaknya dia harus tahu satu hal. Namun ternyata, dia tidak mengetahui fakta, bahwa Yeosang dan Yeonjun dekat karena sahabat.

“Mau makan di mana? Aku menurut saja.”

“Woah! Kamu tahu juga kalau aku menyukai sop kaki kambing muda!”

Melihat wajah girang Serim saja sudah menyembuhkan luka hati Yeosang. Tidak, bukan dalam hal patah hati yang mulai menggores. Hanya saja ia masih berpegang teguh bahwa Serim adalah jodohnya kelak. Tersenyumlah pada gadis yang sudah yakin akan menjadi jodoh kelak.

“Aku hanya asal memilih saja, apalagi aku juga sempat bermampir ke sini untuk makan. Ternyata, sop kambing di sini sangat lezat, makanya aku coba mampir ke sini bersamamu.” Yeosang sengaja tidak ikut makan karena ia hanya memastikan, bahwa Serim sudah makan. Kebetulan saja Serim belum makan.

“Sungguh nikmat ketika aku mencium aromanya.” Serim terus kegirangan, sampai-sampai pengunjung sekitarnya merasa kebingungan.

“Begini, Jo Serim,” ujar Yeosang mulai mendekati Serim, “Aku mengajakmu makan hanya untuk memastikan apakah kamu sudah makan atau belum.”

Barulah Serim mendongak, dengan ekspresi kebingungan. “Aku hanya ingin tahu saja apakah kamu ingin mencari makan atau masih kenyang. Ketika kamu belum makan, itulah sebabnya aku mengajakmu makan.”

“Terus, kamu tidak mau makan?” tanya Serim, kemudian Yeosang menggeleng pelan.

“Kenapa kamu tidak mau makan?” Serim ikut mendekati wajah Yeosang, meskipun masih berjarakan. “Kamu tidak sedang diet, kan? Harusnya, kamu juga ikut makan, bahkan hanya mengajakku makan.”

“Aku hanya ingin mengujimu saja.” Entah apakah Yeosang berbohong atau memang menguji perasaan Serim saja, nyatanya pemuda itu tidak memesan makan malam.

“Mau aku teraktirkan kamu?” tanya Serim kian menawarkan.

“Tidak, terima kasih,” jawab Yeosang malah malu-malu.

“Eii… apakah kamu benar-benar tidak ingin makan?”

“Aku hanya ingin mengujimu saja.” Yeosang menekankan penjelasan sebelumnya. “Aku hanya ingin tahu saja apakah kamu sudah makan atau belum. Karena kamu belum makan, makanya aku mengajakmu makan kesini. Itu sudah aku rencanakan jika kamu belum makan.”

Serim tertegun, seraya menjauhkan jaraknya yang cukup dekat. Ada segurat ekspresi yang berubah setelah Yeosang kembali merepetisi penjelasannya. Hanya membuatnya sebagai uji coba ajakan, padahal dalam hati pun Yeosang bisa melihat Serim makan. Meskipun tidak memesan makan pun, Yeosang masih bisa mengajak Serim makan bersama.

“Jadi, kamu sudah berencana untuk mengajakku mampir ke sini?” Yeosang mengangguk saat Serim bertanya, “Lantas, kenapa kamu tidak mau makan?!”

Lihatlah bagaimana Jo Serim langsung merajuk. Yeosang bahkan sedikit menciut, melihat gadis calon jodoh kelaknya itu melontarkan kekesalan. Tak biasanya ia mengomel, atau mungkin Yeosang tidak pernah melihatnya ketus. Entah apakah sebagai bentuk kepedulian atau kekhawatiran yang berlebihan.

Namun, sorotan Jo Serim tampak berbeda.

“Bu… bukan begitu — ”

“Aku benci melihatmu menyodorkan semangkuk nasi kembali ke arah orang lain. Melihatmu malas makan saja membuatku tidak selera makan.”

Serim lantas menaruh sendok makannya dengan wajah cemberutnya. “Aku benci melihatmu jatuh sakit karena malas makan. Melihatmu dilarikan ke unit kesehatan saja sudah menyedihkan perasaanku. Aku khawatir, karena kamu akan berakhir seperti mendiang ibumu. Aku sengaja mengomel-ngomel padamu agar kamu harus makan yang banyak.”

Sebuah aksi bentuk kepedulian Serim mengubah ekspresi Yeosang menjadi tenang. Hingga gadis dihadapannya itu memberikan sentuhan kecil nan menenangkan. Yeosang tertegun kala Serim langsung menyentuh jemari kanannya. Entah sengaja atau tidak, sama saja itu mendebarkan perasaan Yeosang.

Di matanya, Serim tetaplah akan menjadi jodohnya kelak.

“Makanlah yang banyak.” Netra berbinar-binarnya langsung menyentuh perasaan Yeosang.

“Biasanya kamu peduli pada Yeonjun.” Sialnya, pemuda bersurai hitam itu malah menyebutkan nama sahabatnya dihadapan Serim.

“Untuk apa aku hanya peduli pada Yeonjun jika melihat peringaian dan kebiasaanmu ini saja sudah melukai hatiku?” Pertanyaan yang bagus bagi Serim, namun entah bagaimana dengan Yeosang.

“Tidak ada.” Yeosang langsung menjauhkan sentuhan kecil Serim, kemudian sedikit menyengir kecil. “Aku pikir kamu hanya peduli pada Yeonjun, karena kamu terlalu fokus padanya.”

“Aku memang menyimpan perasaan padanya, makanya aku juga harus mengungkapkannya padamu.”

Apa maksud dari balasan Jo Serim? Ini terus melukai perasaan Yeosang, bahkan ia tidak tahu bagaimana harus berkata lagi. Tetap berpegang teguh pada pendiriannya tentang jodoh kelak buat Jo Serim, tetapi hatinya seketika rapuh. Yeosang hanya bisa diam ketika Serim tampak menunggi responnya.

“Kamu makan dulu. Nanti sop kambingmu jadi dingin, sudah tidak enak lagi jika disantap dengan nikmat.” Yeosang sengaja menyodorkan sedikit semangkuk sop kambing pada Serim, seraya melemparkan netra ke sebelahnya, yang hanya jalanan khusus pejalan kaki.

“Eii… aku hanya ingin tahu saja jika aku, atau mungkin Yeonjun, mengakui perasaan satu sama lain. Kamu bisa mendoakanku agar aku menjadi jodohmu kelak, tetapi tidak denganku.”

Bagaimana Serim bisa menuturkan demikian? Yeosang sulit menyembunyikan anggota tubuh yang bergemetaran. Bukanlah getaran cinta, melainkan getara akibat tremor. Seumur hidupnya, tidak pernah Yeosang ceritakan tentang sosok jodoh kelaknya. Seperti buku harian yang dilarang dibaca secara sembrono, Yeosang terus menjaga rahasianya, yang hanya dirinya dan Tuhan yang tahu.

“Kamu salah paham, Jo Serim-ah.” Yeosang kembali menutupi wajah patah hati dengan senyum munafik.

“Aku tidak berniat memaksamu agar bisa menjadi kekasihku. Beginilah peringaianku agar aku bisa akrab denganmu tanpa semata-mata ada perasaan khusus. Aku bergantung pada jawaban Tuhan, tetapi aku tetap berpegang teguh pada pendirianku bahwa kamu adalah jodohku kelak.”

Yeosang langsung menyudahi penjelasannya, khawatir sop kambing terasa tidak nikmat lagi. Akan tetapi, Serim tampak mogok makan, seolah meminta penjelasan lebih lanjut. Yeosang ingin menyudahi suasana canggung ini, karena orang lain akan menyaksikannya.

“Lanjutkan. Aku ingin mendengar semua ungkapanmu.” Begitulah cara dingin Serim merespons. Yeosang hanya membuang napasnya

“Namamu selalu aku sebutkan setiap aku beribadah, berdoa pada Tuhan dengan segala caraku. Aku tidak mungkin memaksa Tuhan untuk mengubah takdir kita berdua, karena aku tetap yakin pada pendirianku yang seharusnya aku pendam.”

Giliran Serim yang bungkam, karena ia tidak tahu bagaimana harus membalas. Saking seriusnya harus mendengarkan pengakuan Yeosang, Serim hanya menunduk. Kepalanya hanya menggeleng, yang menjadi respons ambigu nan memusingkan. Namun, Yeosang sudah bisa menangkap jawaban semunya.

“Kamu tahu, kan, jawabanku?” Serim sedikit mendongak, dengan sorotan yang cukup sendu. “Biarpun kamu berusaha keras seperti ini, kamu hanya membuang tenagamu. Sekeras apapun kamu mengaku, tetap saja kita harus berakhir berteman biasa. Bukan berarti aku harus menjatuhkanmu lebih dalam, atau menolak pengakuanmu, melainkan kamu sama saja memaksa takdir agar kita bersama.”

Yeosang hanya mengangguk lemah, memutuskan untuk bangkit dari kursi makan. Melihatnya akan pergi saja sudah membuat Serim makin khawatir. Bukan berarti ia harus menjatuhkan harapan Yeosang. Pasti ada sesuatu yang belum tersampaikan. Ini belum finalnya, apalagi perkataan keduanya masih belum menemukan titik terang.

Namun, apa daya Kang Yeosang, yang memegang teguh pada pendiriannya ketika perihal jodohnya kelak.

“Kang Yeosang-ssi,” panggil Serim kebingungan saat Yeosang tiba-tiba bangkit dari kursi, “Apa yang akan kamu lakukan? Bagaimana dengan tagihan sop kambing ini?”

“Akan aku langsung membayarkan sekarang.” Yeosang masih bisa menjawab setenang air, padahal Serim malah mengalihkan topik.

“Lantas, kamu akan meninggalkanku sendirian setelah kamu yang mengajakku makan bersamamu?”

Pertanyaan yang terucap dari bibir Serim membuat satu langkah Yeosang terhenti. Pertanyaan itu mengutuknya, menariknya kembali untuk makan malam bersama. Yeosang melirik Serim yang penuh pengharapan. Selalu ada maunya setelah ini.

“Maaf, karena aku melukai perasaanmu dan berprasangka buruk padamu, tetapi temanilah aku makan malam.”

Maka, Yeosang hanya duduk kembali sembari menyaksikan Serim yang tiba-tiba tersenyum kembali. Sebelum satu sendok nasi dan sepotong daging kambing masuk ke dalam mulut Serim, pun Yeosang kembali memamerkan ekspresi munafiknya. Tak ada lagi yang dijadikan pembahasan basa-basi, tentang harapan dan doa dalam perjodohan. Yeosang menunduk, cukup malu harus menunjukkan ekspresi munafiknya.

Perasaan campur aduk dengan takdir terus berjalan tanpa henti. Andaikan Serim bisa memahami kebohongan kecil Yeosang, mungkin dia bisa memberikan jawaban. Namun, Yeosang kembali memunafikkan diri seolah ia akan merusak pendiriannya, bahwa Serim ialah jodoh kelak. Bisa dikatakan hubungan mereka, yang semula hanya teman kampus biasa, kini tidak jelas jawaban dan penjelasannya.

“Sambil kamu menghabiskan sop kambing ini, tidak apa-apakah jika kamu harus menyimak kembali perkataanku?” Yeosang terlalu sopan jika sudah seperti ini. Serim sudah biasa sehingga ia hanya mengangguk dan meliriknya.

“Mungkin kita memang tidak berada di jalan yang sama hingga ke jenjang serius. Entah apakah aku harus berhenti mengharapkanmu atau harus mendapatkanmu lagi, aku hanya berharap agar kamu dapat mendengar pengakuan tulusku. Selamanya kita memang berteman, tetapi perasaanku padamu masih sama.”

Jika aku bukan jalanmu
Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu
Ku 'kan memilikimu
Jodoh pasti bertemu

Memang benar apa orang lain berkata. Takdir seseorang bisa berubah, meskipun bersikeras menginginkan yang terbaik. Melihat Serim yang jemari manisnya disematkan cincin oleh sosok calon suaminya, yang ternyata bukan Choi Yeonjun, seketika Yeosang berhenti berharap. Tak ada lagi namanya dalam doanya, karena nyatanya Serim sudah menjadi istri sah orang lain.

Yeosang hanya bisa melirik Yeonjun, yang menunduk lebih dalam dengan patah hati terhebatnya. Sepasang sahabat yang bernasib sama. Sudah berulang kali nama jodoh kelak mereka disebutkan, namun Yeosang dan Yeonjun sudah seperti menjaga jodoh orang lain. Mereka tak berhak cemburu, sebab Serim tidak menyukai dua orang yang memaksakan kehendak takdir.

Dia memang tidak ditakdirkan berjodoh denganku. Apakah aku harus katakan lebih keras lagi? Dia bukan jodohku dan aku berhenti mengharapkannya. Batin Yeosang sesaat jari-jarinya bertepuk tangan dengan momen mengharukan.

“Ah, sungguh jahat jawaban takdir, membuat perasaanku menjadi mengenaskan.”

Kata ‘mengenaskan’ yang terucap dari bibir Yeonjun senyatanya memang senasib. Mau tak mau Yeosang mengangguk terpaksa, melepaskan pegangan teguh yang berpendirian sejak lama. Kala melihat Serim tersenyum bahagia pada para hadirin, saat itulah untuk terakhir kalinya Yeosang memamerkan senyum munafiknya.

Antara senyuman bangga atau senyuman yang tersakiti.

Jo Serim, apakah aku masih diperbolehkan untuk menyebutkan namamu dalam doaku lagi? Aku yakin, pada akhirnya jodoh akan mempertemukanku denganmu.

END

--

--

Sigi
Sigi

No responses yet