Bangun pada saat subuh rasanya kurang menyenangkan, meskipun aku sudah berlatih itu sejak duduk di sekolah dasar. Mendengar alarm ponselku yang menggangguku, terpaksa kubuka mataku perlahan-lahan, juga sembari duduk perlahan. Sembari mematikan alarm ponselku, rasanya masih berat untuk menjauh dari pulau kapuk ini. Sangat menyebalkan bagaimana bosku menyuruhku, juga para karyawan kafe, untuk datang lebih pagi.
Kau tahu kenapa?
Hari ini merupakan Halloween, namun aku bahkan menyukai sesuatu yang seram-seram. Bosku merencanakan dan menyempatkan hari seram ini dengan menghiasi berbagai dekorasi yang bertemakan Halloween. Jangan lupa juga untuk mengenakan kostum pilihan karyawan sebebas mereka, terutama aku. Hanya untuk hari Halloween ini, kafe ditutup hingga jam tujuh malam. Itulah sebabnya kami harus menyiapkan ini semua jauh-jauh, bahkan sudah mengonsepkan ini jauh-jauh hari.
Sayangnya aku tidak suka Halloween.
Sebisa mungkin aku tidak mengganggu para tetangga yang mungkin masih terlelap. Karena pandemi masih belum mereda, tidak pernah lupa aku mengenakan masker serta sanitasi tangan sebelum keluar rumah. Melihat keadaan rumahku yang kini kosong, aku segera meninggalkan rumah dan mengunci pintu rumah serta pagar rumah. Bersamaan dengan ayam jago berkokok, membangunkan tetangga yang masih enaknya tidur.
Ngomong-ngomong, aku pergi hanya berjalan kaki menuju halte trans Jogja. Jaraknya cukup jauh, bahkan motorku masih belum dipulangkan dari bengkel. Mau tak mau aku pergi dan pulang menggunakan bus trans, meskipun mengeluarkan uang lebih murah daripada membeli bensin motor. Setidaknya aku lebih menyukai berjalan kaki jika harus mengelilingi kota Yogyakarta.
Hingga aku menemukan sosok gadis yang mengenakan kostum dari kartun film Kiki’s Delivery Service. Kalau tidak salah, dia mengenakan kostum tokoh Kiki. Aku tidak pernah menonton film kartun karena faktor umurku, tetapi aku lebih menyukai menonton ulang episode-episode Spongebob Squarepants yang diulang-ulang. Dia menyapu sekitar wilayah Jalan Jenderal Sudirman, bersama orang-orang yang mengenakan kostum yang berbeda-beda.
Ngomong-ngomong, gadis berkostum tokoh Kiki itu tampak cantik dari samping dan sedikit jauh, bahkan saat ia semakin dekat denganku.
“Permisi, Mas,” ucap gadis bersurai pirang dengan panjang sedada itu, kemudian aku sedikit bergeser.
“Mohon maaf, Mbak. Kenapa semua pada pake kostum konyol itu?” tanyaku tampak ramah.
“Mas nanya ke saya?” dia malah bertanya balik, kemudian aku mengangguk tersenyum dibalik masker medis putih itu.
“Karena ini hari Halloween,” jawabnya dengan senyum sumringahnya. Sungguh manis dan menawan, tapi wajahnya tertutupi masker. Aku bisa melihatnya dari netranya yang cantik.
“Jadi, karena hari ini hari Halloween, makanya pada pake kostum ginian?” Aku mengedarkan pandangan ke arah orang lain yang sibuk bersih-bersih.
“Sebenarnya, ini memang pilihan kami. Mau pake kostum yang nyambung sama hari Halloween atau nggak, itu terserah kami. Tapi semuanya kompakan banget, terutama kelompokku yang excited banget sama konsep Halloween,” jelas gadis itu masih sibuk mengumpulkan sampah-sampah yang berantakan.
“Dalam rangka apa ini?” tanyaku lagi.
“Dalam rangka ngebantu-bantu para pembersih wilayah. Soalnya, kasian banget ngeliat mereka capek-capek ngumpulin sampah, tapi malah diusilin orang nggak guna itu,” jawab gadis bersurai pirang masih sibuk mengumpulkan sampah-sampah ke plastik hitam besar.
“Kalau begitu,…” Aku langsung bangkit dari bangku panjang, hendak menyambar sapu taman. “…aku boleh minjem?”
“Buat apa, Mas?” Gadis itu mengaku kebingungan dengan sikapku barusan, membuat kegiatan sapu-menyapu kian terhenti.
“Buat ngebantu kamu juga, Mbak,” balasku tersenyum.
“Nggak usah, Mas. Lagian, Mas mau berangkat kerja, kan?”
“Masih lama banget kok.”
“Kok udah rapi banget?”
“Sengaja datang lebih awal aja biar aku surprise-in karyawan.” Kemudian, aku menyengir kecil.
“Tapi, sapu taman ini keren banget, Mas.”
Apanya yang keren? Aku hanya mengernyit sembari membenarkan kacamata berlensa bulatku.
“Kalo Mas mau ngetes, aku beneran nunjukin nih.” Gadis itu tampak mengubah posisi berdirinya, dengan gagang sapu taman dimiringkan ke atas, dan berada di antara kedua kaki panjangnya.
“Eh, mau ngapain, Mbak?” tanyaku hendak menghentikannya.
“Mau nguji seberapa ajaibnya sapu taman ini,” jawab gadis tanpa nama itu tampak tak sabara, “Mau naik?”
“Hah? Masa sih?” Kemudian, aku memegang daguku yang tertutupi masker. “Jangan bilang… sapu taman ini bisa terbang?”
“Iya!” balasnya kian berseru, membuat orang-orang yang mengenakan kostum konyol itu mengarahkan atensi padanya. Aku sedikit melirik, tampak mereka hanya tertawa kecil.
“Nggak usah becanda, Mbak!” bisikku tak percaya.
“Eii… nggak percaya amat sih, Mas? Sini aku buktiin deh.”
“Kayaknya, ada yang nggak beres sama kamu gara-gara kebanyakan nonton film.”
“Aku serius! Masa kamu nggak mau nyoba?”
Mau tak mau aku hanya memutarkan bola mataku. Persetan dengan konyolnya karangan fantasi yang mustahil. Aku hanya duduk di kumpulan lidi yang bermekaran, yang sudah diikat kuat. Kutekukkan kedua lututku sembari memegang bagian tengah gagang sapu. Layaknya aku membonceng dengan alat transportasi aneh, yang dilakukan penyihir sebagai supirnya.
Tidak lupa ada seekor anak kucing hitam yang berlari menghampiri kami, langsung melompat ke arah gadis berkostum tokoh Kiki dari Kiki’s Delivery Service itu. Uniknya lagi justru kucing hitam itu menyelinap ke dalam tas selempang kuning milik gadis tanpa nama itu. Sepertinya, anak kucing hitam itu tidak menyukaiku atau ia tidak mengenalku.
“Mas mau kemana?” tanya gadis bertubuh cukup kurus itu mengarah fokus ke depan.
“Ke Cafe B,” jawabku sembari mengeratkan kemeja motif kotak-kotak yang sengaja kancingnya dibuka semua.
“Oke. Aku siap menyupir kamu, Mas!” Gadis berbando merah itu langsung bersemangat saat akan mengantarku ke lokasi, yang aku sebutkan tanpa menyebutkan namanya. Sebelah kakinya ia hentakkan ke jalan trotoar khusus pejalan kaki.
“Tapi… bagaimana kamu— anjrit! Woy!”
Aku refleks mengumpat ketika ternyata perkataan gadis itu benar. Aku dan dia, beserta anak kucing hitam itu, ternyata bisa terbang dengan sapu taman bergagang itu. Tas selempang kecilku hampir terjatuh karena mendadak terbang setinggi Monumen Tugu Yogyakarta. Sungguh mengejutkan bagaimana bisa kami terbang dengan mengendarai sapu taman itu.
Beginikah cerita dari Kiki’s Delivery Service?
Aku bisa melihat sekilas pandangan kota Yogyakarta yang mulai mengecil, bahkan kecepatannya pun cukup pelan. Sungguh, aku mengaku terkejut dan tak menyangka. Ada sesuatu yang gila dari sosok gadis tanpa nama itu, bahkan anak kucing hitam itu sangat tenang. Orang lain harus menampar pipiku karena aku tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta, bukan dunia fantasi yang dipenuhi banyak kemustahilan.
“Lo… lo manusia bukan sih?!” tanyaku masih syok, tetapi gadis itu masih tampak bersenang-senang.
“Emakku punya setengah manusia sihir di dalam tubuhnya, sedangkan bapakku punya kekuatan magis, makanya aku malah terlahir jadi gini,” jawabnya sedikit meninggikan intonasinya karena kami hampir menyentuh awan.
“Ini bukan film kan?!” Aku masih mengaku tak menyangka. Sungguh.
“Pelototin dulu, Mas, baru nengok ke bawah dikit!” teriak gadis bersurai pirang masih terlihat puas.
“Gue takut anjir!” Aku bukannya takut terhadap ketinggian atau memiliki fobia itu, melainkan… takut pada kenyataan bahwa dunia fantasi dan kekuatan magis itu benar-benar ada. Aku seperti menentang dua itu.
“Kamu pasti nggak suka fantasi?” tebak gadis itu.
“Iya! Bahkan aku nggak suka sama apa yang mustahil!” jawabku sedikit berseru.
“Sekarang, kamu udah percaya sama perkataanku kan, Mas?!”
Tidak. Aku sebenarnya percaya, tetapi tidak percaya pada hal mustahil yang terjadi. Tidak percaya adanya hantu, bahkan dunia sihir seperti ini. Aku memilih diam saja, melindungi diriku yang akan jatuh dari langit. Khawatir jika orang lain akan takut atau benci pada gadis itu.
“Yang benar aja lo!” Aku hanya bisa memejamkan mataku, membiarkan gadis aneh itu yang menyupir sesuai petunjuk arah yang entah benar atau salah arah demikian.
“Lo kira kota ini penuh dengan fantasi?!”
“Kamu tuh cowok. Masa takut sama ginian?” Sialnya, gadis itu malah tertawa saat mengetahui mataku terpejam.
“Aku bukannya takut anjrit!” seruku kesal, “Justru mana ada yang mustahil dari mimpi itu malah jadi kenyataan!”
“Jangan marah-marah padaku, tapi marah saja sama ciptaan ini.”
Terserah. Aku hanya mengeratkan genggamanku pada gagang sapu taman. Biarkanlah gadis aneh ini yang mengendarai sapu taman ajaib ini. Semua terasa aneh dan konyol. Melihat orang di depanku, yang mengenakan kostum tokoh Kiki, pun sungguh mengada-ada saja.
Aku tahu, ini memang benar-benar terjadi, tetapi menolak fakta bahwa aku bisa ikut terbang bersama gadis aneh tanpa nama itu. Sia-sia aku harus menuruti insting orang itu. Bukankah lebih baik aku menunggu bus trans datang, meskipun cukup terlambat? Namun aku mungkin akan terlambat jika bus trans itu datang.
Kau bisa katakan antara aku beruntung disupiri gadis tanpa nama itu atau hanya kebetulan diantar dalam keadaan apes.
“Sudah sampe, Mas!”
Aku tak lagi merasakan angin meniup surai hitamku, melainkan kini sudah tiba di depan gedung Cafe B. Melihat suasana di luar gedung itu sangat sunyi, hanya aku yang ternyata telah sampai lebih dahulu. Yap, yang aku rasakan setelah terbang bersama sapu taman ajaib itu terasa pusing dan berat. Untungnya tubuhku tidak lemas, walaupun kenyataannya aku belum sarapan. Hanya menyantap roti bungkus yang sudah kubeli sejak semalam.
Tidak lama kemudian, gadis itu menyodorkan berupa kartu nama padaku.
“Buat apa?” tanyaku seraya memerhatikan isi kartu nama itu. Dia yang bernama Elisa.
“Kalo mau dijemput, hubungi aku aja, Mas,” jawabnya kian menawarkan.
“Dengan naik sapu taman konyol ini?!” Aku bahkan masih tak menyangka harus pulang dengan menggunakan sapu lidi konyol itu.
“Nggaklah, Mas!” tawa gadis pemilik nama Elisa, “Kalo Mas buru-buru banget, nggak apa-apa aku anterin pake sapu taman ini. Kalo Mas santai-santai aja, boleh kok pake motorku.”
“Tidak, terima kasih,” tolakku, namun aku menyimpan kartu namanya, “Aku punya motor kok, cuman motorku lagi sakit aja, makanya aku naik bus trans aja.”
“Ya udah, balikin kartu namaku.”
“Jangan! Mau aku simpen.”
“Lho, kok Mas simpen kartu namaku?”
Aku mengurung niat mengantongi kartu namanya. “Buat save nomor hapemu aja. Nggak apa-apa kan?”
Elisa tertegun di tempat, bersama dengan seekor anak kucing hitam yang langsung memanjat ke pundaknya.
“Kok diem aja? Apa karena ini ngarah ke personal, makanya kamu diem aja?” Tampaknya, aku tak sopan untuk mengambil kartu nama Elisa, kemudian meminta izin menyimpan nomornya.
“Ehm… jadi, ini sekalian ngobrol-ngobrol nih?” Elisa tampak meragukan, ada kemungkinan ia merasa keberatan.
“Ya… gitu. Ngobrol-ngobrol dulu biar deket. Siapa tahu sama-sama nyaman gitu.” Aku hanya memegang tengkukku yang terasa pegal.
“Silakan, Mas! Aku cuman nanya aja kok.” Elisa akhirnya membuat jawaban yang tepat, membuatku ikut tersenyum dibalik masker.
“Salam kenal. Aku Anom.”
“Salam kenal juga. Aku Elisa.”
“Aku udah tahu kok. Tadi ngeliat sekilas kartu namamu.”
“Eii… harusnya aku nggak usah cantumin namaku aja kalo kamu udah tahu.”
Aku dan Elisa hanya melemparkan senyum yang terhalang oleh masker. Setidaknya aku bisa menelepon atau melakukan panggilan video pada Elisa jika dia tidak keberatan. Kenyataannya, jantungku mulai berdebar-debar, padahal senyumnya juga ditutupi masker. Netraku mencoba meraba-raba caranya Elisa tersenyum.
END