Happy Second Lead Day to Me

Sigi
12 min readDec 3, 2023

--

Photo by Clay Banks on Unsplash

Cast:
- Sung Hanbin (ZB1)
- Riina (H1-KEY) (using her real name)
- Jaechan (DKZ)

cw // kissing

Hari Sabtu yang menyenangkan sekaligus membosankan. Menyantap menu sarapan berupa sereal campur susu putih dengan wajah seperti baru bangun tidur. Padahal sudah berdandan demikian seperti anak rumahan biasa, yang penting tampan. Hanya tidak ada yang menarik di hari akhir pekan, kecuali malas-malasan.

Sung Hanbin mengerti, akhir pekan terasa menyenangkan untuk orang-orang yang lebih menyukai berkeliaran keluar. Karena sudah lulus kuliah, pemuda itu tidak bisa lagi berpijak ke perpustakaan kampus karena harus menunjukkan identitas mahasiswa. Tidak, hanya saja perpustakaan kampus itu juga terbuka untuk umum. Hanya alasan yang berdasar, yang membuat akhir pekan bagi Hanbin membosankan.

Sarapan berupa sereal jagung masih belum cukup mengenyangkan. Hanbin terpaksa menyantapnya karena tanggal kedaluwarsa tersisa esok, sedangkan sereal jagung masih tersisa setengah bungkus. Mau tidak mau, porsi sarapannya menjadi lebih banyak, sudah termasuk sepiring aneka buah dipotong. Jikalau perutnya masih lapar, Hanbin tinggal menyeberang jalan menuju rumah makan sederhana, meskipun ada kalanya ia bosan dengan lauk-pauk di depan mata.

“Sudah kubilang padamu untuk mencari udara segar kalau merasa akhir pekan ini membosankan.”

Keluar dari rumah untuk mencari udara segar? Hanbin bimbang. Bergoleran santai di rumah sembari memerhatikan akuarium ikan tetap saja bosan. Namun, mencari udara segar terlihat seperti anak pengangguran.

“Biarkan aku bersantai lebih banyak.” Hanbin meregangkan tubuhnya sedikit.

Muncul sosok gadis berperawakan tinggi, kira-kira tingginya 172 sentimeter. Datang dari arah dapur pantry menuju ruang makan, membawakan sekotak susu putih yang baru dikeluarkan dari kulkas. Lagi-lagi menu sarapannya ditambah dengan segelas susu putih, membuat Hanbin mendengus kesal.

“Daripada kamu bermalas-malasan di rumah, akan lebih baik menghirup udara segar sembari berkeliling kota.” Gadis bernama Lee Seunghyun langsung mengambil tempat duduk dengan postur tegak. Memilih duduk berhadapan dengan Hanbin sembari menopangkan kedua pipinya yang mulai berisi.

“Begitulah nasib dirimu melajang. Hidupmu bertambah bosan.”

Terserah, setidaknya Hanbin masih bisa bernapas. “Apakah kamu sedang mengejekku karena Park Jaechan datang ke dalam hidupmu?”

Sung Hanbin berdecak, lantaran perkataan Seunghyun sedikit menyinggung. “Seharusnya kamu pergi dari rumahku setelah menyiapkan menu sarapan untukku.”

Seunghyun tertawa garing. “Apakah kepedulianku padamu tidak berarti bagimu? Sesama manusia harusnya saling membantu, apalagi kamu tinggal sendirian karena kamu masih jauh dari orang tuamu.”

“Kamu selalu menyinggung diriku yang melajang, seperti kamu memedulikan nasibku yang terlihat menyedihkan. Lantas, apakah kamu tidak takut pada karma jika kamu terus-terusan menyinggungku demikian?” Sung Hanbin kembali menyantap sereal jagungnya.

“Itu karena kamu mengharapkan hubunganku kandas dengannya, padahal apa menurut hatiku sudah terjawab.” Seunghyun pun meneguk segelas susu putih.

“Aku hanya berharap hubungan kalian cepat kandas karena kamu sudah membuatku sedih.”

Namun, Seunghyun tidak terpengaruh oleh omongan tajam Hanbin. Gadis berambut hitam pendek model bob itu membiarkan perkataan Hanbin masuk ke kuping kanan, kemudian keluar dari kuping kiri. Semakin Hanbin berharap hubungan pasangan kekasih itu kandas, semakin membuat Seunghyun berpegang erat pada kekasihnya. Terkadang, itu terdengar menyebalkan baginya yang sudah terikat perasaan khusus pada kekasihnya.

“Kamu terlihat kehilangan harapan yang emas, apalagi percintaan yang dipupuskan oleh ekspektasi. Jangan sampai kamu masuk ke bangsal rumah sakit jiwa.”

Setelah meneguk segelas susu putih, yang kini tersisa setengah gelas, Seunghyun kembali memerhatikan penampilan wajah Hanbin yang masih terlihat tampan. Bahkan setelah rambutnya didandani Seunghyun pun tetap saja Hanbin terlihat tampan. Wajah setengah baru bangun tidur, meskipun sudah mandi dan membersihkan wajah. Rambut hitamnya juga sudah dikeringkan dan disisir oleh Seunghyun.

Jadi, sebenarnya, mengapa perlakuan baik yang sederhana tetap membuat Hanbin jatuh cinta? Ayolah, Lee Seunghyun sudah memiliki kekasih. Hanbin sudah tahu saja, harusnya sadar diri. Tidak, tetapi mengapa Seunghyun yang mendandani rambut Hanbin?

“Sung Hanbin,” panggil Seunghyun dengan intonasi melirih, kemudian Hanbin menaruh sendok makan seraya menatapnya. “Hari ini menandai statusmu sebagai pemeran utama kedua. Happy second lead day to you, Sung Hanbin-ah!”

Tawa ledek terlontar dari mulut Seunghyun, bahkan tersenyum lebar saja semakin memancarkan keelokannya. Seunghyun menghadiahkan Hanbin berupa tawa ledek. Namun, Hanbin merespons dengan tawa miris, bertolak belakang dengan ekspresinya yang sedikit girang.

“Jadi, kamu hafal kejadian tanggal 10 November 2021?” Itu merupakan tanggal resmi hubungan Seunghyun dan Jaechan dibeberkan kepada publik. Lebih tepatnya mereka telah resmi berkencan kepada publik.

Sung Hanbin juga hafal tanggal itu. “Padahal itu tidak penting dalam hidupku.”

“Kamu bahkan ingat tanggal aku menangisi Park Jaechan karena berkali-kali perasaanku diabaikan, padahal itu juga tidak penting bagiku.”

Iya, perasaan tulus Seunghyun yang mulai tumbuh itu diabaikan Jaechan karena pemuda itu memprioritaskan diri sebagai mahasiswa calon musisi kala itu. Mungkin sekarang dia mendapat rezeki yang lebih, berkat banyaknya panggilan cinta dari berbagai festival.

“Sama denganku.” Hanbin segera meredakan tawa renyahnya. “Hari di mana statusku sebagai pemeran utama kedua juga tidak penting dalam hidupku, tetapi kamu menghafal dengan rinci momen menyedihkan itu. Kamu pikir ulang tahun atau perayaan hari pernikahan?”

“Setidaknya kamu harus terhibur.” Seunghyun terus tertawa, padahal tidak ada yang lucu. “Tertawalah sebagai pemuda lajang yang masih mencari penggantiku.”

“Itu penghinaan.”

Kalau Hanbin pikir-pikir lagi, seharusnya ia tidak menunjukkan patah hatinya secara terang-terangan. Terlebih lagi, Seunghyun selalu menyeret sesuatu yang tidak penting dalam hidup.

“Makanya, kamu harus merayakan hari second lead day khusus untukmu. Santaplah menu sarapan buatanku, meskipun hanya berupa segelas susu putih dan sereal jagung kesukaanmu.” Lebih jelasnya lagi, menu sarapan yang disantap Hanbin juga buatan Seunghyun.

Sebagai perayaan hari second lead day untuk Sung Hanbin.

Itu konyol.

“Kapan kamu segera putus dari Park Jaechan?” Sekali lagi, Hanbin berharap kabar hubungan kandas menjadi kenyataan. “Meskipun aku sadar diri tidak bisa memilikimu.”

“Nah, kalau kamu tahu dan sadar diri, lebih baik temukan gadis lain yang lebih baik dan pantas dariku,” jawab Seunghyun seraya memutarkan bola matanya, “Siapa kira-kira temanku yang akan kukenalkan padamu?”

“Aku tidak suka perjodohan, melainkan aku menyukaimu.”

Please, move on, Sung Hanbin.

Maka, Hanbin pun menunduk sedikit, harus menuruti perkataan gadis dihadapannya, meskipun mereka sebaya. “Baik, Nona Lee Seunghyun!”

Memang tidak mungkin Hanbin bisa mendapatkan Seunghyun kembali. Gerak-geriknya, cara memberi afeksinya, tindakannya, Hanbin sudah paham segala cara Seunghyun untuk mendapatkan hati orang tercintanya. Kalau sudah tahu pujaan hatinya mencinta orang lain, bukankah merelakan adalah solusi terbaik? Sayangnya, Sung Hanbin enggan menyerah sampai merasakan patah hati yang sesungguhnya.

Park Jaechan.

Nama itu selalu ada di benak Sung Hanbin, sosok yang dicintai Lee Seunghyun. Memang ada banyak kelebihan tanpa dari kepribadiannya, terutama dia penyayang orang tua. Hanbin terus memerhatikan ketulusan Jaechan terhadap sesama manusia dan makhluk hidup, seolah berbuat kejahatan merusak karakter baiknya. Mungkin itulah alasan Seunghyun jatuh cinta pada Jaechan.

Meskipun demikian, Hanbin sadar diri bahwa cemburu pun bukan haknya. Masih banyak gadis di luar sana yang lebih baik, tetapi Hanbin enggan melirik mereka. Karena kegemarannya membaca buku, Hanbin tidak pernah memikirkan perihal kehidupan percintaan. Sampai-sampai Seunghyun hafal keberadaan Hanbin, kalau-kalau ada teman-temannya yang mencarinya.

“Kalau perpustakaan tutup, apa yang akan kamu lakukan?” Seunghyun tetap harus berinteraksi dengan Hanbin. Bagaimana pun mereka tidak bersama, mereka tetaplah teman.

“Tidak masalah. Aku masih punya banyak buku.”

Rumah Hanbin saat ini tergolong kecil untuknya yang tinggal sendirian. Ada ruang kosong yang dianggap sebagai perpustakaan. Buku-buku yang belum disentuh dan dibaca Hanbin, banyak yang terkumpul di sana. Di sanalah, pemuda berperawakan tinggi itu mendekam sendirian ketika perpustakaan kota sedang libur.

Benarkah ruang kosong hanya terisi oleh buku-buku?

Kenyataannya, buku-buku yang dimaksud Hanbin ialah buku harian, yang ditulis olehnya secara diam-diam. Buku rahasia yang ditulis setiap malam hari sebelum tidur. Untuk memindahkan segala ingatannya agar mungkin ia akan lupa esok harinya. Semua curahan hatinya tertulis dalam bentuk goresan tinta hitam di atas kertas, merangkai kata per kata menjadi satu kalimat, kemudian kalimat per kalimat menjadi satu paragraf.

Dan, satu hal yang Hanbin tanamkan: “Jangan sampai orang lain tahu, apalagi Lee Seunghyun dan Park Jaechan”.

Sebut saja ruang terapi rahasia Sung Hanbin. Berhubung ia bosan mendekam di rumah, Hanbin putuskan menghabiskan lebih banyak waktu di sana. Membiarkan rumahnya kosong, seolah ia pergi beraktivitas di luar rumah. Tidak ada satupun yang tahu, bahwa Hanbin memiliki ruang khusus di samping rumahnya. Orang-orang, terutama para tetangga, hanya tahu itu ruang gudang yang masih menjadi hak milik Hanbin.

Diantara deretan buku hariannya yang sudah penuh, Hanbin meraih salah satu buku harian di ujung rak. Buku harian yang digenggamnya, dengan sampul buku serba warna merah muda beserta stiker-stiker kecil yang berbeda desain. Ada banyak suasana hati yang terungkap di dalamnya. Suasana hati bagaikan menaiki roller coaster. Kadang naik berkecepatan lambat hingga setinggi-tingginya, kadang pula turun sangat cepat hingga terjun bebas. Begitulah suasana hati orang yang memiliki perasaan cinta.

Dan buku harian bersampul merah muda itu ditulis oleh Lee Seunghyun.

Mengapa buku harian itu bisa berada di tangan Sung Hanbin?

Pemuda itu menolak untuk menjawab, membiarkan pertanyaan itu memenuhi pikirannya. Hanbin menemukan buku harian Seunghyun saat makan siang bersama di kantin, tetapi tidak sempat mengembalikannya kepada pemiliknya, yang langsung menghilang. Mau tak mau, Hanbin terpaksa menyimpannya sampai Seunghyun menanyakan keberadaan buku hariannya, tetapi pemuda itu justru membacanya.

Merupakan pelanggaran karena mengintip kisah kehidupan pribadi orang lain.

Isi buku harian Seunghyun memuat perjalanan hidupnya yang menyimpan cinta yang mendalam pada kekasihnya, Park Jaechan. Hanya dengan membaca isi buku harian Seunghyun, yang penuh dengan bumbu romansa yang campur aduk, Hanbin sudah membayangkan gambaran adegan per adegan. Halaman per halaman itu, semua terceritakan di dalamnya. Dan, pemuda itu telah membaca lebih dari setengah halaman buku harian milik orang lain.

Hanbin membuka halaman selanjutnya, yang mengisahkan Seunghyun dan Jaechan menghabiskan waktu berdua saat hujan deras melanda kota.

“Hujan deras telah merepotkan masyarakat, demikian pun aku dan Jaechan yang harus berlari untuk sampai masuk ke dalam mobilnya….”

14 Agustus 2021…

Hujan deras telah merepotkan civitas akademik yang hendak pulang ke rumah masing-masing. Terpaksa berlarian tanpa membawa payung, alhasil pakaian mereka basah kuyup. Berlarian melewati hujan deras dari kafetaria menuju tempat parkir mobil. Mereka menemukan mobil sedan hitam dengan nomor pelat kendaraan yang benar.

Lee Seunghyun dan Park Jaechan telah masuk ke dalam mobil segera sebelum butiran hujan mengenai bagian dalam pintu mobil.

Tidak, sekujur tubuh mereka sudah basah kuyup serta helaian rambut mereka terlihat seperti baru selesai keramas. Tidak membawa pakaian ganti yang rasanya mustahil bisa berganti pakaian dihadapan lawan jenis. Mau tidak mau, mereka hanya hidup dalam keadaan pakaian basah kuyup.

“Ah, sial!” umpat Seunghyun menggerutu. “Bagaimana bisa aku menjelaskan ini pada orang tuaku?” Gadis itu hanya sibuk menyibakkan rambut hitam pendek model bob yang basah.

“Anggap saja kamu sedang celaka sekarang,” ujar Jaechan malah tersenyum, “Kita tidak tahu kalau sekarang sedang hujan deras.”

Seunghyun masih menggerutu pelan. “Tidak, tetapi mereka tetap menyalahkanku karena aku ceroboh. Beralasan tidak membawa payung? Mereka tetap menyalahkanku karena aku ceroboh. Beralasan tidak tahu hujan deras akan turun? Mereka tetap menyalahkanku karena aku tidak membaca berita prakiraan cuaca. Alasan apalagi agar mereka memaafkanku? Tidak ada!”

Ketika Seunghyun mengomel, Jaechan hanya menggeleng pelan. “Tidak semua orang mengikuti berita prakiraan cuaca. Katakan saja kalau kamu sedang sial — ”

“Apakah kamu ingin membuat orang tuaku mengutukku lagi?!” Seunghyun kembali mendumal. “Apapun alasanku, mereka tetap menyalahkanku karena aku bersikap ceroboh.

“Kenapa kamu tidak berterus terang lagi saja pada orang tuamu?” tanya Jaechan lagi, yang bahkan Seunghyun sudah tahu.

“Bukankah berterus terang akan memaklumi mereka? Apalagi kamu terpaksa menerobos hujan bersamaku karena menyeberang dari kafetaria menuju tempat parkir mobil yang cukup jauh. Kenapa kamu tidak membawa payung, tidak membawa jas hujan, tidak menepi saja, akan lebih baik kamu berterus terang lagi pada mereka.”

“Park Jaechan,” panggil Seunghyun kian membuang napasnya, “Are you a T?

Lebih tepatnya 혹시 너 T야?

“Akan lebih baik aku harus mengantarkan tuan putri ini kembali ke rumah—”

“Apa? Tuan putri?” Kemudian, Seunghyun tertawa kecil. Setidaknya rasa kesalnya memudar perlahan-lahan. “Untuk pertama kalinya aku mendengar sebutan itu.”

Mendengar perkataan itu, Jaechan tercengang. “Apa? Pertama kalinya?” Kemudian, pemuda bermata sipit itu tertawa kecil.

“Hei, apakah tidak ada orang lain yang memanggilmu demikian, bahkan ayahmu?” Pertanyaan yang dilontarkan Jaechan itu, terdengar seperti meledek orang lajang yang bernasib pahit. “Itu berarti aku beruntung bisa memanggilmu ‘tuan putriku’ selamanya!”

Gadis itu pun menunduk, mengalihkan tawa kecilnya menjadi malu. Tersipu malu sampai merasakan pipinya terasa hangat. Karena tidak ada yang menyebutnya ‘tuan putri’, meski terdengar sederhana dan umum. Memang betul apa yang dikatakan Jaechan.

“Tidak, tetapi bukankah kamu memang tuan putri?” Jaechan pun menoleh ke arah Seunghyun. “Karena kamu memang tuan putriku.”

Seunghyun tertegun sejenak.

“Aku menyukai sebutan ini untukmu. Bahkan jika kita mulai berkencan besok, aku selalu memanggilmu ‘tuan putri’. Kedengaran sederhana dan umum, tapi aku suka panggilan ini untukmu.” Ada senyum tulus tersungging dari bibir Jaechan, untuk pertama kalinya ditujukan secara langsung pada Seunghyun.

“Tumben, ada seorang pria yang memanggilku ‘tuan putri’.” Gadis berperawakan tinggi itu tertawa sekejap. “Itu karena aku tidak pernah mendengar sebutan itu tertuju padaku, apalagi ayahku.”

Seunghyun melirik Jaechan, yang masih mengunci pandangan padanya. “Bahkan Hanbin tidak pernah—”

Ssshhh!” Jaechan membungkam bibir Seunghyun dengan jari telunjuknya. Pertanda nama pria lain dilarang disebut baginya. “Kenapa kamu menyebutnya?”

Jaechan mungkin salah paham, atau barangkali lupa, bahwa Seunghyun tetap menganggap Hanbin sebagai teman kampusnya. Hanya kawan formalitas sesama civitas akademik, bukan lebih dari itu.

“Bagaimanapun dia tidak pernah menyebut itu demikian, Hanbin juga tetap teman kita. Kalaupun aku memiliki perasaan padanya, harusnya aku tidak pernah mengagumimu sejak awal.” Seunghyun menyingkirkan jari telunjuk Jaechan dari bibirnya.

“Aku tahu kecemburuanmu, sedikit ada posesif darimu.”

Anggukan Jaechan yang belum memudarkan rasa cemburu. “Kamu benar.”

“Tapi, Park Jaechan….”

Seunghyun menggantungkan perkataannya seraya memerhatikan wajah Jaechan. Wajah pemuda dihadapannya yang merupakan tipe idealnya. Terlalu panjang untuk mendeskripsikan bagaimana bisa Tuhan menciptakan pemuda tampan yang bermoral baik. “Apakah kamu punya waktu luang setelah ini?”

Giliran pipi Jaechan yang memanas, padahal Seunghyun hanya bertanya. “Bukankah kamu harus cepat pulang?”

“Aku tidak peduli pada orang tuaku, mereka hanya mengkhawatirkan pekerjaan dan uang.” Kemudian, Seunghyun mencubit pipi Jaechan. “Tidak bisakah aku ingin pergi seharian bersamamu?”

Jaechan tertawa dengan caranya Seunghyun terlihat gemas. Cara intonasinya juga demikian, berkebalikan dengan cerminannya sebagai gadis mandiri. Cubitan itu kian melanggar, berganti dengan jarinya menangkup pipi pemuda dihadapannya agar saling berpandamgan. Ditambah senyuman Lee Seunghyun yang mengartikan ketulusan, seperti akan melakukan segalanya pada Park Jaechan.

금사빠, person who fall in love quickly. Sebutan yang ditujukan kepadanya, yang tak berhenti terpesona oleh keelokan gadis dihadapannya.

Lamunan Jaechan seketika buyar saat Seunghyun mendaratkan kecupan kilat ke arah bibir tebalnya. Pemuda itu hening, untuk pertama kalinya ciuman kilat itu dilayangkam. Tidak pernah terpikirkan akan hal itu selain mengagumi kegemasan Seunghyun padanya.

“Park Jaechan.” Gadis bertubuh sintal itu melebarkan senyum tulusnya hingga matanya membentuk bulan sabit. “Meskipun aku tidak tahu perasaan tulusmu tertuju padaku atau bukan, perlu kamu ketahui kalau aku sungguh tulus padamu. Perasaanku yang tumbuh untukmu tidak pernah berubah dan akan terus tumbuh hanya padamu. Aku bersyukur, bahwa Tuhan mengirimkan pria yang baik padamu.”

Ungkapan cinta manis yang refleks membuat Jaechan tertawa kecil. Perasaan tulusnya juga hanya untuk Seunghyun, tepat pada pandangan pertama. Sebuah bukti nyata hubungan mereka telah direstui semesta di tengah hujan deras yang belum mereda.

Jaechan sejenak menggamit jemari Seunghyun, mendaratkan kecupan lembut di sana. Kecupan yang membuat Seunghyun tak berkutik. Setelah itu, sepasang kekasih baru lahir itu kembali bertukar pandangan. Perasaan tulus yang dapat terbaca melalui ekspresi mereka.

Dan pada akhirnya, mereka pun berbagi kemesraan yang lebih dari sekadar kecupan kilat.

Ciuman pertama.

Persetan dengan lingkungan kampus. Mobil sedan hitam yang ditumpangi Jaechan dan Seunghyun dikelilingi mobil tinggi yang dapat menutupi sekitar. Mereka sibuk berbagi kasih sayang yang lebih, bahkan merasakan ada kupu-kupu telah menggelitik perut mereka.

Inilah mereka, Park Jaechan dan Lee Seunghyun, yang terbuai oleh ciuman pertama. Hawa dingin yang menusuk karena pakaian basah kuyup, kini hanya kehangatan yang menyelimuti. Saling menyelimuti tubuh mereka yang masih basah kuyup dengan saling membungkus dan meraba bagian luar tubuh mereka. Berpelukan dengan ciuman yang semakin intens serta menuntut.

Mereka menyukai adegan ini.

"Park Jaechan, aku mencintaimu."

Setelah itu, tidak ada lagi halaman baru yang tercatat di dalam buku harian Seunghyun, tetapi sudah cukup Sung Hanbin membiarkan air matanya lolos. Merasa dirinya sebagai pembaca novel romansa terindah yang pernah dibaca. Padahal itu hanya buku harian, tetap saja Hanbin merasakan pisau mengiris hati. Seorang pembaca novel romansa yang memosisikan dirinya sebagai pemeran utama kedua rasanya pahit dan perih.

Mungkin cerita itu menjadi cerita terakhir yang belum tamat. Masih ada beberapa halaman kosong karena buku harian itu ada di tangan Hanbin secara tidak semgaja. Seunghyun mungkin masih ingin menumpahkan segala curahan hati melalui buku hariannya. Atau, mungkin itu memang cukup sampai di situ, karena Seunghyun telah memamerkan kekasihnya pada publik.

Secepatnya Sung Hanbin harus mengembalikan buku harian Seunghyun sebelum adegan mesra itu terus mengganggu pikirannya. Namun, ia tidak tahu cara mengembalikan benda rahasia kepada pemiliknya tanpa bertemu dengannya. Berbagai pertanyaan repetisi dengan perasaan campur aduk, tidak mungkin ia titipkan langsung kepada Jaechan. Akan menimbulkan masalah baru jika ia akan melakukannya.

Sung Hanbin segera menemukan solusi mengembalikan buku harian itu tanpa harus bertemu dengan dua orang itu secara langsung.

Hingga pemuda lulusan sarjana itu telah menemukan jalan keluarnya.

Pada malamnya, Hanbin menaruh dan membanting pelan buku harian Seunghyun ke dalam kotak sampah. Di atas kobaran api yang telah dinyalakan sebelumnya. Perlahan-lahan, kobaran api kecil membakar dan menghanguskan sebagian buku harian milik orang lain. Sebelum itu lenyap total, Hanbin memandangi foto kemesraan Seunghyun dan Jaechan yang ikut terbakar. Foto yang diselipkan di bagian sampul buku harian.

Bagi Sung Hanbin, membakar buku harian milik orang lain terkesam kejam. Tetap saja ia melakukannya, agar adegan mesra itu tidak lagi mengacak pikirannya sekaligus meredam cemburu. Hanbin berusaha menjadi egois, tetapi tidak ada tenaga lebih karena itu pilihan mereka serta hak mereka. Dengan membakar buku harian Seunghyun, Hanbin sedikit lega dan merelakan perasaannya yang pedih akibat cintanya ditolak.

Jika cintaku padamu telah pupus, maka aku juga memupuskan benda milikmu juga. Terima kasih atas perayaan hari second lead day untukku. Rasanya pahit, namun akan mendatangkan kegembiraan yang menjadi menang.

END.

--

--

Sigi
Sigi

No responses yet