Namanya Keum Donghyun.
Dia sahabatku. Tentu saja dia sahabatku, bukan lebih dari itu. Orang tuaku sudah menganggapnya sebagai saudaraku sendiri karena aku merupakan anak satu-satunya. Sudah jelas mengapa dia dipandang sebagai orang spesial dalam hidup.
Tidak perlu ku jelaskan lebih rinci. Donghyun terlalu 'berarti' bagi hidupku. Lebih tepatnya suasana hatiku mudah berubah, tergantung kehadirannya di depan mata. Bukan berarti aku menyukainya, pun demikian dia juga. Kami saling bergantung satu sama lain, seolah-olah kami tidak bisa saling menjauh.
Sayangnya, Donghyun harus kuliah di luar negeri. Kami hanya berbagi komunikasi jarak jauh melalui panggilan video, tetapi rasa hampa tidak mampu ditepis. Seperti yang pernah aku ungkapkan, kehadirannya mengubah suasana hatiku yang murung. Karena dia sudah memulai hidup baru sebagai mahasiswa luar negeri, aku merasakan kekosongan yang besar.
Ibuku adalah orang pertama yang melihatku menangis sendirian. Duduk di teras balkon kamarku, di situlah aku mengadukan tangisan kecil pada ibuku. Karena Donghyun tidak kembali dari California, seolah-olah aku selalu merasa cemas dan gelisah. Pelukan ibuku memang menghangatkanku serta mampu meredakan tangisanku. Tidak bisa dibantah perihal kekuatan ibuku.
"Itu karena kamu terlalu bergantung pada sahabatmu, sehingga kamu menjadi banyak gelisah tanpanya."
Apa yang dikatakan ibuku memang benar. Hidupku terlalu bergantung pada sosok Keum Donghyun. Namun, setiap mataku terpejam untuk menjelajahi mimpi, pasti air mata membasahi bantalku. Sosok Keum Donghyun justru masuk ke dalam mimpiku, tetapi semua mimpi itu berakhir miris. Seolah-olah aku mendapat peringatan untuk kehilangannya. Itu menakutkan, terasa menakutkan, hingga aku tidak ingin membuka mataku pada pagi harinya.
Jangankan bangun tidur, mendengarkan berita lewat televisi pun menggelisahkanku sedikit.
Terlalu berlebihan mungkin bagi orang lain.
Hingga aku menemukan buket bunga Ivy dari pengirim anonim. Tidak ada nama pengirimnya sama sekali, tetapi bunga Ivy kembali membuka ingatan kecilku. Aku ingin menyebut Keum Donghyun. Pikiranku selalu positif mengarah padanya karena hanya dia yang tahu bunga kesukaanku, yaitu bunga Ivy.
Jika kamu merindukanku, peluklah bunga itu saat kamu tidur. Maka, rindumu akan tersampaikan padaku.
Aku tidak pernah percaya pada sesuatu yang mustahil. Namun, aku hanya mengikuti pesan dengan insting konyol itu. Kupeluk sebuket bunga Ivy saat aku tidur. Hanya melakukan seperti apa yang tersampaikan dari pengirim anonim. Mungkin orang tuaku akan menganggapku sudah tidak waras.
"Ternyata kamu menuruti pesan anonim itu?"
Pertanyaan itu membangunkanku. Sumber suara itu sangat dekat denganku, namun aku takut membuka mataku. Sampai jemari sosok misterius itu mengelus ujung rambutku secara perlahan-lahan. Mataku pun perlahan terbuka, menangkap sosok pria muda yang duduk di sampingku beserta senyuman manisnya.
Seperti senyumannya yang kurindukan.
Sosok yang duduk di sampingku itu memang dia, yang bernama Keum Donghyun.
"Kamu pasti merindukanku, Shana-ya."
Ini bukan mimpi buruk, tetapi sosok Keum Donghyun telah kembali. Tubuhku refleks terbangun, butuh waktu untuk memperhatikan wajah tampan nan manisnya. 'Ku ulurkan sebelah tanganku, menyentuh sebelah pipinya, dia terasa nyata di hadapanku. Terlebih lagi, senyumannya melebar nan gembira, tetapi yang kulakukan hanya menangis dan menghamburkan pelukan kecil padanya.
"Kamu pasti berubah menjadi gadis cengeng karena tidak ada aku, bukan?" Donghyun bertanya seraya tertawa mengejek, membuat tangisanku justru pecah, alih-alih tertawa.
Sialan.
Sejenak Donghyun menepuk punggungku, terasa menenangkan dan meredakan tangisanku. Memeluk sosok sahabat kecilku yang kurindukan. Rasa gilaku karena hidup tanpanya mulai lenyap. Kehadirannya yang menyembuhkan rasa hampaku yang kacau. Pelukan yang menghangatkan, aku hanya ingin melakukan ini lebih lama. Ini seperti aku membuka lembaran baru.
Perlahan-lahan, kami melepaskan pelukan hangat itu. Donghyun melirik bunga Ivy yang sudah tergeletak di kasur, kemudian ia melirikku seraya menghapus air mataku. Berharap ujarannya bukan untuk mengejekku sebagai gadis cengeng. Tidak lama kemudian, dia kembali melemparkan senyuman yang teduh.
"Shana-ya," panggilnya padaku seraya menatapku cukup dekat, "aku ingin sekali bersamamu untuk selamanya. Ingin sekali aku harus bersamamu kembali karena kita sudah bersahabatan selama berpuluh-puluhan tahun. Bukan waktu yang sebentar, melainkan sangat lama."
Tunggu sebentar.
Aku mencoba untuk berpikir perihal perkataan Donghyun, yang membuatku mulai merinding.
"Hanya saja aku harus pergi lagi. Untuk kepergianku kali ini, jauh lebih lama daripada hanya hubungan persahabatan kita. Mungkin ini pertama dan terakhir kita bertemu lagi."
Mengapa ini terasa perpisahan?
"Kenapa... kamu mengatakan ini, Donghyun-ah?" tanyaku dengan intonasiku yang bergemetaran, tetapi dia hanya menunduk.
"Surga itu tempat yang damai dan indah, bukan? Tempat tinggalku sekarang di sana, bukan di California atau di sini lagi."
Lagi-lagi air mataku menetes lagi dan kali ini jauh lebih menyakitkan daripada ditinggal pergi ke California. Lagi-lagi aku menangis ketika Donghyun meraih setangkai bunga Ivy dari buketnya, menyerahkan bunga itu agar aku bisa menggenggamnya. Tangisanku kembali pecah saat pemuda tampan itu bangkit dari kursi. Dia hanya memandangku dengan senyuman mirisnya.
"Tolong jangan merasa kesepian lagi, ya?"
Sosok Keum Donghyun yang berwujud nyata itu berubah menjadi butiran debu yang telah diterpa tiupan angin. Kepergiannya dalam sekejap kembali melukai suasana hatiku, yang seharusnya bergembira atas kehadirannya. Sosok sahabat kecilku yang telah menghilang selamanya, bahkan tanpa memberitahuku alasan kepergiannya. Dia hanya datang dengan kegembiraan, namun berakhir menambah goresan luka yang membesar.
Yang kulakukan hanya menghancurkan buket bunga Ivy hingga tak lagi menyegarkan. Rasa sakitku bertubi-tubi hingga aku menghancurkan seisi kamarku tanpa ampun. Membuat kamarku kini menjadi kapal pecah. Orang tuaku mendadak tiba dan mencoba menahan tindakan brutalku agar lukaku semakin melebar. Aku masih ingin menghancurkan sesuatu, bahkan buket bunga Ivy pemberian Keum Donghyun pun demikian.
Lagi-lagi yang bisa memelukku hanya ibuku, sedangkan aku hanya menangis dan memandang buket bunga Ivy yang telah rapuh oleh pijakanku.
Maafkan aku, Ivy.
Aku akan membencimu selamanya.
END.