Hujan Kehidupan

Sigi
11 min readOct 28, 2021

--

Sudah tetap kuliah setengah hari pada akhir pekan, tiba-tiba terjebak hujan deras. Terperangkap di lorong gedung fakultas sendirian karena terpaksa mendatangi seorang dosen pembimbing yang cukup tegas secara akademik. Melihat hujan deras yang membasahi wilayah fakultas, pada saat itulah netra Ham Eunji — mahasiswa lain lebih sering memanggilnya Mia — kian sendu. Hanya dirinya yang terjebak di lorong fakultas, sedangkan mahasiswa lain sudah pulang lebih dahulu.

Mia tak pernah mengeluh saat hujan deras turun, meskipun ekspresinya tidak demikian. Entahlah ia harus mendefinisikan apa. Intinya, ada sesuatu dibalik hujan deras itu. Sulit pula ia deskripsikan air yang mengalir dari awan gelap, mengguyurkan seisi alamnya. Hanya saja gadis bersurai pirang itu enggan memikirkan turunnya hujan, melainkan hanya melamun, melamun, dan melamun.

“Apa yang Anda lamunkan?”

Mia menangkap suara sosok yang hanya berdiri dari kejauhan. Melihat visual seorang dosen itu, pantas saja mengapa banyak mahasiswa yang mengaguminya. Peringaiannya, sikapnya sebagai dosen, dan visualnya memang layak sebagai panutan. Wajar saja jika banyak yang menjadi penggemar berat. Hanya sebatas sebagai mahasiswa-dosen, bukan menjadi penggemar fanatik.

Beliau Dosen Lee Daeyeol.

“Tidak ada.” Mia menggeleng kian berbohong.

“Apa karena Anda sudah lama sekali tak berjumpa di kampus?”

Mia hanya menunduk malu. “Kurasa begitu, Pak. Rasanya asing sekali harus kembali kuliah setelah saya menjalankan cuti kuliah semester sebelumnya.”

“Sangat disayangkan mahasiswi pintar seperti Anda harus mengajukan cuti kuliah. Saya turut prihatin mendengarnya setelah Bu Dosen Yoo Jiae banyak cerita tentang Anda.”

Kemudian, Mia membungkuk pelan, meminta maaf karena harus mengajukan cuti kuliah satu semester sebelumnya.

“Tidak perlu meminta maaf seperti itu.” Dosen Lee mengambil tiga langkah untuk mendekati Mia — mereka bahkan masih berjarakan, menyuruhnya untuk tidak meminta maaf. “Ada banyak mahasiswa lain yang juga mengajukan cuti kuliah. Rata-rata karena harus memperbaiki keadaan finansial, sedangkan Anda berasal dari keluarga konglomerat. Bukankah begitu?”

Mia enggan menjawab, meskipun ia tak lagi membungkuk secara formal untuk menyampaikan permintaan maaf tulus.

Iya, Mia sudah lama sekali tidak menjajakkan kakinya di wilayah kampus, terutama di wilayah fakultas. Ada sesuatu yang menggerakkan Mia untuk tak menjajakkan kakinya di kampus, bahkan tak menghadiri setiap kelas mata kuliah semester sebelumnya pun. Rasanya cukup canggung, melihat para mahasiswa sudah mengurus tugas akhir secara matang, kecuali dirinya. Yang lain sudah ada kemajuan dengan serius, sedangkan dirinya harus mundur satu langkah.

Mia tidak tahu bagaimana harus menanggapinya selain menunduk penuh malu. Harusnya ia bisa mempertahankan niat lulus bareng teman-temannya. Namun waktu tidak bisa diundur. Andaikan Mia tidak mengajukan cuti kuliah satu semester, ia bisa berjuang bareng teman-temannya. Juga Mia bisa bertemu dengan orang tersayangnya, yang entah bagaimana kabarnya sekarang.

“Saya… saya pamit dulu.” Mia lantas mengeluarkan payung dari tas tentengan. “Kebetulan saya membawa payung, jadi, saya bisa mencari keberadaan Yunho di sekitar sini. Mungkin dia minum kopi ketika terjebak hujan.”

“Tunggu sebentar, Ham Eunji-ssi!”

Baru saja Mia hendak meninggalkan lorong gedung fakultas, Dosen Lee kembali memanggilnya dengan cara yang formal. Langkah Mia kian terhenti kala panggilan itu menghentikannya. Indera pendengaran Mia masih berfungsi dengan baik sehingga ada gunanya Dosen Lee memanggilnya dengan sedikit sahutan.

“Anda yakin bisa menemui keponakan saya?” tanya Dosen Lee tampak ingin mengabarkan sesuatu.

Mia sejenak membalikkan tubuhnya ke belakang, memandangi Dosen Lee yang ekspresinya cukup ambigu. Tidak, memang sejak awal Mia menyebutkan nama Jeong Yunho, seorang mahasiswa yang juga keponakan Dosen Lee. Hanya saja ada timbul suasana kurang mengenakkan dari dosen berperawakan tinggi itu ketika Mia hanya menyebutkan nama Yunho sekali.

“I… iya, Pak Dosen Lee,” jawab Mia tampak kebingungan, “Apa yang terjadi?”

Giliran Dosen Lee yang ikut tutup mulut. “Anda… benar-benar yakin ingin menemui keponakan saya?”

“Itu benar, Pak. Sudah lama sekali saya tidak menemuinya, Pak.” Mia hanya bisa merepitisi jawabannya, dengan sedikit jabaran.

“Jeong Yunho… apakah Anda tidak mendengar kabar sejak beberapa bulan yang lalu?”

Apa yang sebenarnya ingin Dosen Lee ungkapkan? Mia tidak mungkin memiliki kekuatan bisa membaca pikiran orang lain. Namun Dosen Lee tampak khawatir jika beliau harus mengungkapkan keberadaan Jeong Yunho yang sebenarnya. Hanya itulah yang Mia duga, mengingat ekspresi Dosen Lee masih ambigu.

“Saya… saya tidak pernah menyentuh ponsel saya selama cuti kuliah saya berjalan. Jadi, saya tidak tahu apapun tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Yunho,” jawab Mia seformal mungkin.

“Astaga, Ham Eunji-ssi!” Dosen Lee semakin cemas, padahal Mia memang tidak tahu apa-apa.

“Memangnya, apa yang terjadi pada Yunho?”

“Apakah selama cuti kuliah Anda, televisi di rumah tidak pernah menyala?” Dosen Lee mencoba untuk tenang dan rileks. Mia hanya menggeleng pelan.

“Baiklah. Karena Anda tidak tahu apa-apa soal keberadaan Yunho, saya langsung mengungkapkan secara to the point.”

Dosen Lee memiliki perasaan campur aduk. Antara beliau harus mengungkapkan keberadaan Yunho yang sebenarnya atau tetap harus dipendam agar tidak ada lagi yang terluka. Mengingat Mia mengambil cuti kuliah pada semester sebelumnya, gadis bersurai pirang itu sengaja memutuskan semua komunikasi dan hubungan pada orang-orang terdekat, kecuali keluarganya itu sendiri. Mendengar gadis itu tak menyalakan televisi selama cuti kuliah berlangsung, Mia sengaja menghindari berita di mana-mana. Antara tinggal di kampung halaman yang terpencil atau berita itu akan membuat cuti kuliahnya ditambah.

“Jeong Yunho….” Dosen Lee merasakan air mata mungkin akan jatuh, sebelum beliau melanjutkan, “… dia dipanggil Tuhan lebih dulu.”

Seketika Mia tertegun, membuat payung terjatuh dari genggaman. Indera pendengarannya masih berfungsi dengan baik, bahkan ia tidak salah dengar. Namun sekujur tubuhnya menegang akibat kabar buruk, yang terlambat untuk didengar. Mia tidak tahu bagaimana harus menanggapinya selain diam.

“Saya tidak tahu mengapa keponakan saya harus dipanggil Tuhan, tetapi saya yakin bahwa ini ada hubungannya dengan Anda.” Dosen Lee bahkan tak menunjukkan ekspresi negatif apapun, melainkan hanya terpaksa mengabarkan berita buruk.

“Sa… saya?”

“Iya. Karena Anda pernah berpacaran dengan keponakan saya sebelumnya. Sudah jelas bagaimana dia meninggalkan catatan terakhir yang ditujukan pada Anda.”

Mia mencoba untuk mengingat kembali perbuatannya pada Yunho, yang membuat pemuda itu dipanggil Tuhan lebih dahulu. Ini terjadi sebelum Mia memutuskan untuk mengajukan cuti kuliahnya selama satu semester. Namun semakin ia menggali kuburannya sendiri, justru Mia tidak ingin teringat kembali kejadian tersebut. Mengingat Dosen Lee dan Yunho tidak hanya memiliki hubungan formalitas secara akademik, melainkan paman dan keponakan dalam hubungan keluarga.

Itu semakin mendorong Mia untuk menjelaskan lewat mulutnya sendiri.

“Apa yang Anda lakukan pada keponakan saya sebelumnya?”

Pertanyaan itu bagaikan tugas ujian akhir yang merumitkan pikiran mahasiswa. Mia ingin menjelaskan kejadian tersebut, tetapi khawatir itu akan membuat Dosen Lee kecewa. Rasanya ingin kabur dan lari dari kenyataan, tetapi nyatanya Mia masih mencintai Yunho. Sudah jelas bagaimana ia ingin menemui pemuda tercintanya itu.

Padahal hubungan asmara keduanya sudah kandas.

“Yunho-ya, aku ingin kita akhiri hubungan ini.”

Secara terang-terangan dan merumitkan penjelasan, Mia menuturkan keinginannya untuk mengakhiri hubungan dengan kekasihnya, Jeong Yunho. Mendengar kata ‘akhir’ atau ‘putus’, membuat senyuman pemuda bersurai hitam ombre merah itu memudar. Ia dapat merasakan ada yang tidak beres dari perkataan Mia itu.

“Kita akhiri saja hubungan ini. Aku tidak ingin menjelaskan apapun mengapa aku ingin putus darimu. Karena kamu sendiri yang merumitkam pikiranku,” Mia menegaskan di tengah ramainya suasana kafe kampus terdekat.

“Kenapa kamu ingin putus?” tanya Yunho kebingungan, “Apakah ada yang salah dariku?”

“Pertanyaanmu terlalu bodoh untuk dijawab,” jawaban Mia yang cukup ironi.

“Aku tidak mengerti mengapa kamu ingin putus. Setidaknya jelaskanlah padaku. Maka kita bisa menyelesaikan ini baik-baik — ”

“Tak ada gunanya aku menjelaskan ini,” potong Mia kian menenangkan pikirannya, “Sudah jelas aku merasa susah karenamu.”

“Jelaskanlah padaku apa yang menyusahkanmu?” Yunho masih menuntut kejelasan, karena ia bahkan merasa masih mencintai Mia.

“Kita tidak cocok, bahkan takdir pun merasa begitu. Aku bahkan selalu merasa bahwa hidupku sengsara selama kita menjalin hubungan asmara ini. Setiap kali kamu memberikan sandaran padaku, saat itulah hidupku semakin rumit dan berkecamuk. Aku bahkan tidak bisa tersenyum setelah kamu mengantarku pulang ke rumah, tidak seperti beberapa drama romantis.”

Yunho hanya diam sembari tersenyum dan mengangguk.

“Jadi, aku ini menyusahkanmu?” Kemudian, pemuda itu terkekeh kecil. “Kan, kamu sendiri yang memintaku untuk memperlakukanmu dengan baik karena pamanku seorang dosen. Aku sudah memperlakukanmu dengan baik, bahkan ketika kamu sakit pun akulah yang merawatmu. Apakah bagimu, kebaikan kecil yang aku perbuat hanya untuk menyusahkanmu?”

Mia menghela napas panjang. “Kamu tidak mengerti juga, ya?”

“Bagaimana bisa aku memahamimu lebih dalam, sedangkan kamu memaksaku untuk memahamimu?”

“Semakin sering kamu memperlakukanku dengan baik, justru akulah yang terus-terusan merasa dongkol padamu.”

“Aku memperlakukanmu dengan baik bukan karena aku terpaksa atau karena pamanku seorang dosen, melainkan aku tulus mencintaimu.”

“Dasar tolol!” Mia menggertakkan mejanya hingga para pengunjung terkejut oleh aksinya, “Kalau kamu tulus mencintaiku, kenapa kamu lebih baik memutuskan hubungan denganku?! Kamu hanya semakin membuatku kesulitan karena orang bodoh sepertimu!”

Yunho mengitari sekitarnya yang menyaksikan keributan yang dilakukan Mia, kemudian mencoba untuk menenangkan situasi.

“Bagaimana bisa takdir mempertemukanku dengan prang yang menyulitkan hidupku, bahkan ketika kamu tidak pernah berbuat jahat padaku. Seharusnya kamu tidak usah datang ke dalam hidupku jika aku tidak merasa kesulitan! Kenapa harus kamu, dasar penghancur!”

Setiap hinaan yang dilontarkan Mia membuat Yunho tertegun, bahkan gadis itu selalu menyalahkannya.

“Jangan pernah hubungi aku, mengirim pesan singkat padaku, bahkan jangan pernah kembali datang ke dalam hidupku. Akan lebih baik jika kamulah yang pergi dari hidupku agar hidupku tidak sengsara lagi.”

Melihat Mia yang meraih tas tentengannya, Yunho langsung meraih pergelangan tangannya. Pemuda itu bahkan masih belum mengerti bagaimana bisa Mia merasa hidup menjadi sulit saat keduanya berkencan. Lebih parah lagi ialah para pengunjung kian berbisik-bisik, menggunjingkan atas kejadian yang mengherankan. Yunho mencoba untuk memahami setiap penjelasan Mia yang cukup klise.

Sayangnya, gadis bersurai pirang itu malah melepaskan cengkeraman tangan Yunho dengan tatapan benci.

“Melihatmu mencengkeram pergelanganku membuatku merasa, bahwa kamu sudah menghancurkan hidupku dengan melakukan perbuatan buruk padaku,” cemooh Mia terus membungkam Yunho.

“Mia — tidak, Ham Eunji-ya — ”

“Berhentilah memanggil nama asliku dan segera enyahlah dari hidupku!” bentak Mia tampak frustrasi, bahkan Yunho tak diberi kesempatan untuk menjelaskan.

“Aku hanya ingin kita putus dan jangan pernah berharap untuk kembali.” Kemudian, Mia langsung meninggalkan Yunho dan tontonan para pengunjung seraya mengusap air matanya. Disaat gadis itu meninggalkan kafe, Yunho masih meneriaki namanya tanpa menghiraukan pengunjung.

Yunho menggigit bibirnya kian frustrasi. Melihat ternyata segelas americano milik Mia masih penuh dan utuh. Kepergian kekasihnya yang tersayang membuat Yunho sulit untuk tenang, meskipun sudah meneguk segelas americano hingga habis. Tanpa memikirkan keadaan perutnya yang sedikit menyiksa, namun Yunho sudah cukup menyiksa dirinya ketika terpaksa meminum segelas americano milik Mia hingga habis tanpa setetes.

“Itu benar.” Yunho sempat ingin memuntahkan semua isi perutnya, yang mungkin dikarenakan efek segelas americano. “Aku sudah menyulitkan hidup Eunji, bahkan perilaku baikku yang kecil pun aku masih menyulitkannya. Mungkin jika aku akan pergi selamanya, dia tidak akan mencariku.”

Meski demikian, Yunho masih saja mengirim pesan singkat pada Mia, tetapi tersadar bahwa gadis itu sudah memblokir nomor kontaknya. Meneleponnya pun sia-sia karena langsung terputus oleh suara operator. Setiap kali datang ke kampus, Yunho selalu mencari-cari keberadaan Mia, tetapi hasilnya nihil. Hampir setiap hari Yunho melakukan hal yang sama setelah putus, tetapi tak lagi ia menemukan keberadaan Mia. Teman-teman dekat Mia juga tidak mengetahui keberadaannya, semakin membuat hidup Yunho dipenuhi rasa cemas dan khawatir.

Di sisi lain, Mia hanya bisa mengintip betapa frustrasinya sosok Jeong Yunho. Hanya bersembunyi dibalik tanaman tinggi milik fakultas. Mia ikut menangis sebelum diam-diam meninggalkan wilayah fakultas tanpa menjumpai Yunho. Layaknya tidak mengetahui apapun, bahkan sudah cukup Mia digunjingi dan digosipi mahasiswa lain dengan tatapan sinis dan benci.

Sampai saat Mia memutuskan untuk mengajukan cuti kuliah, pada saat itulah gadis itu hanya memandangi gedung kampusnya. Setidaknya dengan cara itulah ia bisa melupakan Yunho, dengan menguburkan semua kenangan terindah yang mereka miliki. Mia menyampaikan pamitan lewat batin, tanpa ada yang mengetahuinya.

Sebuah pamit sekaligus turunnya hujan, membiarkan sekujur tubuh Mia basah kuyup.

“Saya hanya meninggalkan ini untuk Anda sebelum Anda menemui Yunho di rumah abu. Catatan akhir hidup dan buku harian Yunho. Dia sendiri yang menyerahkannya pada saya sebelum saya menemukan catatan akhir hidupnya. Dia sangat mencintai Anda, bahkan saya dari kejauhan menjadi saksi mata. Dia juga sangat tergila-gila, bahkan diketahui oleh saya.”

“Sayangnya dia menyusul dan memilih untuk hidup lebih bahagia daripada sekadar mencintai Anda. Saya akhirnya tahu mengapa dia meninggalkan saya, istri saya, dan anak saya yang sudah merawat menemaninya setelah ia kehilangan orang tua kandung. Setelah Anda membaca catatan akhir hidup Yunho, saya harap Anda bisa camkan itu.”

Seperti yang diungkapkan Dosen Lee Daeyeol, pemuda bernama Jeong Yunho kini sudah tenang. Sudah banyak tersenyum, tertawa, juga jauh lebih bahagia. Mia menyadari, bagaimana bisa ia mendadak mencari keberadaan Yunho setelah kembali berkuliah. Menyadari pemuda itu tak pernah muncul lagi di setiap ruangan, membuat Mia kebingungan dan bimbang. Ia hanya ingin menemui Yunho untuk mencari tahu rutinitasnya kini, bahkan hanya ingin tahu apakah pemuda itu sudah menemukan pengganti yang lebih baik.

Mia tidak pernah menyangka, bahwa setiap makian dan tuturan telah melukai kondisi mental Yunho. Tak pernah menyangka pula, bahwa mantan kekasihnya itu menyembunyikan banyak luka dibalik tawa khasnya serta senyumannya. Gadis itu terlalu egois, berpikir bahwa Yunho tak pernah memasukkan makian ke dalam hati. Nyatanya pemuda itu selalu mencatat perbuatan apa yang pernah Mia lakukan padanya selama keduanya berpacaran, bahkan makian, hinaa, dan cemoohan pun juga dicatat.

Omongan masuk ke telinga kanan, kemudian keluar dari telinga kiri.

Pepatah itu tak pernah Yunho camkan dan renungkan, melainkan mencatat ulang semua kejadian serupa, yang terkumpul ke dalam buku hariannya.

“Jadi selama ini, kamu sudah pergi jauh dariku karena aku menghinamu saat kita putus?” Mia terisak-isak, “Aku sangat egois karena aku lebih mendahulukan pemulihan kesehatan mentalku daripada berjuang bersamamu.”

Sukar untuk mengungkapkan permintaan maaf yang amat tulus, meskipun orang itu sudah lebih bahagia di atas. Namun Mia baru merasa bersalah yang amat besar karena makiannya yang telah melukai mental Yunho. Bagaimana mungkin gadis itu harus meminta maaf, bahkan sudah sangat terlambat menyadarinya.

“Maafkan aku, Yunho-ya. Maafkan aku yang sudah membuatmu terluka dan harus pergi jauh tanpa pamit. Bisakah kamu kembali padaku sekarang? Aku lebih membutuhkanmu untuk bisa mengobrol banyak padamu karena hanya kamu… kamu yang aku butuhkan. Aku sudah tidak memiliki teman dekat lagi karena keegoisanku.”

Melihat Mia yang hanya bisa menangis terisak-isak, Dosen Lee tak mampu berbuat apa-apa selain memandanginya dari belakang. Melihat wajah Yunho yang terpampang dari lemari etalase, senyuman yang mampu meneduhkan perasaan luka yang disembuhkan oleh dirinya sendiri. Namun tangisan Mia itu semakin membuat Dosen Lee prihatin. Menatapi mahasiswi pintar yang lebih mendahulukan egonya serta terus menyalahkan orang lain atas kesulitan hidupnya.

Mendengar Mia terus memohon pada abu Yunho, Dosen Lee mencoba untuk menahan air mata tak lagi mengalir. Kehilangan keponakan tersayangnya yang ternyata menyimpan semua lukanya tanpa memberitahunya. Jikalau buku harian terus disembunyikan, Dosen Lee tetap saja merasa bersalah. Tak pernah melakukan pendekatan lebih dalam pada keponakannya kala ia menyimpan banyak luka. Entah apakah Dosen Lee nyatanya tetap menyalahkan dirinya karena kurang pendekatan,

kecuali Dosen Lee mengetahui pergelangan tangan Yunho yang ditutupi perban berlapis-lapis.

“Apa yang terjadi dengan pergelanganmu?” tanya Dosen Lee saat Yunho tengah menghabiskan setidaknya semangkuk nasi goreng buatan istri beliau. Pertanyaan itu menyadarkan Yunho seraya menyembunyikan pergelangan tangan kirinya.

“Hanya hiasan saja. Beberapa bulan lagi, kan, fakultas akan mengadakan pesta Halloween, makanya saya sengaja mengenakan perban tahan air ini untuk mengembangkan karakter saya. Saya harus menyiapkan ini lebih awal dan harus lebih sempurna lagi daripada sebelumnya,” jelas Yunho kian berbohong, bahkan tak menjelaskan kostum yang akan dia kenakan.

“Benarkah?” Dosen Lee lantas berpikir, “Memangnya kamu akan berperan sebagai apa?”

“Zombie! Saya sendiri yang memilihnya!”

Pada saat itulah senyuman Yunho ternyata menjadi pemandangan terakhir Dosen Lee. Beliau kemudian bertanya, “Apakah kamu tidak merindukan Eunji?”

Pertanyaan yang lantas memudarkan senyuman Yunho perlahan-lahan. Namun ia tetap menanggapinya, mengungkapkan hubungannya dengan Mia yang kandas. Meskipun demikian, Dosen Lee masih bisa melihat senyuman Yunho, seorang keponakan yang taat dan selalu memancarkan beraura positif. Alih-alih membicarakan Mia lebih lanjut, Yunho justru mengeluhkan telur dadar yang sudah habis dilahap oleh entah siapa yang menghabiskannya.

Dosen Lee baru menyadari pergelangan tangan Yunho itu sejak kematiannya. Apalagi Mia yang baru menyadari kepergian Yunho untuk selama-lamanya. Dosen Lee hanya bisa diam dengan banyak berpikir dan renungan, hanya bisa berharap agar Yunho tidak ikut menangis dari surga. Tak bisa beliau hakimi siapa yang lantas harus lebih pantas dihukum.

Di sisi lain, Mia tak mampu menghentikan isak tangisnya. Ingin rasanya ia memukuli dadanya sendiri hingga bisa menyusuli kematian Yunho. Namun mana mungkin Mia harus mengakhirinya. Cuti kuliah satu semester sudah cukup untuk membuatnya bangkit dan kembali mengejar ketertinggalan. Mia hanya bisa merelakan kepergian Yunho, dengan tetap menyalahkan dirinya sendiri.

“Jadi, kamu yakin tidak akan kembali?” gumam Mia terus mencoba tak terisak-isak sebelum Dosen Lee menghampirinya hanya menyerahkan sapu tangan bersih. Mia terpaksa menerima sapu tangan itu. Sebagai penghapus air mata bersalah.

“Mahasiswa teladan dan pintar seperti Anda sangat disayangkan karena perilaku tak dewasa Anda.” Dosen Lee masih menuturkan sisi negatif Mia yang sudah terlihat baru-baru ini.

“Dia mencintai Anda, tetapi Anda selalu menempatkan diri Anda ke dalam suasana yang sulit seolah semua kesulitan Anda murni kesalahannya. Anda harus camkan itu.” Kemudian, Dosen Lee langsung meninggalkan Mia beserta sapu tangannya. Mia hanya memandangi punggung dosen terhormat hingga tak lagi terlihat dari mata sipitnya.

Memang benar. Aku sudah mencelakai mantan kekasihku. Dan dia tidak akan pernah kembali.

END

--

--

Sigi
Sigi

No responses yet