Love Always Run Away

Sigi
15 min readFeb 5, 2023

--

📸 비극적 결말일지라도 스스로 운명을 개척하는, SF9 [TURN OVER]

Main Cast:
— Yoo Taeyang (SF9) as Prince Juan Moreno
— Jane (Momoland) as Princess Janette White

Other Cast:
— King Samuel Moreno (Juan’s Dad)
— Queen Elsa Meriana (Juan’s Mom)
— King Stuart William White (Janette’s Dad)
— Youngbin (SF9) as Crown Prince Thomas Willy White
— Y (Golden Child) as Duke Marcelino Andrew White

cw // mention of kiss

Putri Janette; pemilik nama lengkap Janette White, seorang putri dari Kerajaan Niuescos sekaligus anak bungsu di Keluarga Raja Stuart William White. Berketrampilan memanah, menembak, dan berkuda, keahlian Janette tak pernah membuat masyarakat berdecak kagum. Berkat ajaran dari Raja Stuart, ayahnya, yang dengan gigih mengasah keterampilan putri bungsunya untuk menjadi wanita pemberani. Ditambah keinginan kuat Janette yang menambah penasaran dengan hobi Raja Stuart. Ketekunannya yang tak melenyapkan semangat nan gigih, mendedikasikannya sebagai anak bungsu yang tangguh untuk masa depan.

Meskipun demikian, tak pernah dipungkiri Raja Stuart mengerahkan salah satu pengawalnya untuk melindungi keberadaan dan keselamatan Janette setiap bepergian. Menunggangi kuda sebagai alat transporasi, alih-alih kendaraan bermesin. Janette tak pernah membangkang sikap protektif Raja Stuart. Bukan perkara anak bungsu perempuan dari dua saudara laki-laki, melainkan Janette seorang wanita yang harus dilindungi. Sekalipun seseorang melukai atau melecehkannya, Raja Stuart tidak segan-segan menghukum para penjahat dengan hukuman yang berat.

Biarpun begitu, Janette White bangga memiliki sosok ayah dan raja yang menyayanginya dan mendukungnya sepenuh hati.

Angka 10 ditancap anak panah yang ditembak Janette, menuai riuh sorakan dari beberapa pemain panahan. Bentuk ungkapan takjub kepada wanita bersurai merah stroberi—dengan panjang sedada— yang telah menghabiskan enam biji anak panah. Selalu tepat sasaran tanpa meleset sedikit pun. Tentu saja Janette bangga, sembari melambai-lambai ke arah Raja Stuart dan seorang pangeran yang ikut bertepuk tangan. Seorang pangeran dari kerajaan lain yang turut menemani Raja Stuart.

Pangeran Juan, dengan pemilik nama Juan Moreno, seorang pangeran dari Kerajaan Hermes, serta anak semata wayang di keluarganya yang berjiwa gigih. Sama gigihnya dengan Janette, entah dengan cara apa kegigihan mereka. Karena menjadi anak semata wayang, apapun keputusan yang dibuat Juan, orang tuanya selalu memihaknya. Selama bukan sebuah keputusan terkonyol dalam hidupnya, yang akan mengkhawatirkan orang tuanya. Sudah jelas masa depan kelak akan menjadi raja, menggantikan ayahnya—Raja Samuel Moreno—yang mungkin akan mengundurkan diri atau terus menjabat dan menguasai Kerajaan Hermes sampai wafat.

“Anda yakin ingin melamar anak bungsu saya?” Raja Stuart bertanya seraya berbisik-bisik pada Juan, “putri saya sangat galak pada siapa pun yang ingin mencelakainya.”

“Bersahabat dengannya selama 22 tahun adalah waktu yang sangat lama, apalagi perasaan saya telah berubah seiring bertambah usia,” jawab Juan ikut berbisik, masih dengan tepuk tangan yang pelan. “Saya yakin, putri Yang Mulia tidak pernah melirik pria lain di sekitar selain saya.”

“Jangan bermain-main dengan putri saya!” ancam Raja Stuart, yang bukan ancaman sesungguhnya, “nanti pelurunya akan menembus letak jantung anda.”

“Apakah Yang Mulia akan menghukum saya jika putri anda disakiti oleh saya?” tanya Juan seraya tersenyum menyeringai, bukan ancaman yang serius.

“Tentu saja!” jawab Tuan Stuart tegas, langsung bangkit dari kursi penonton, padahal seharusnya ada kursi khusus raja dan ratu, “tanpa memandang bulu pangkat atau jabatan, saya akan menghukum siapa pun yang berani menyerang kulit putri saya.”

Juan hanya tersenyum kecil, membiarkan Raja Stuart berjalan mendahuluinya, kemudian mengikuti langkah di belakangnya. “Apakah Yang Mulia setuju dengan hubungan kami jika saya benar-benar melamarnya?” Pertanyaan yang membuat Raja Stuart membuang napas, dengan langkah pelannya meninggalkan lapangan area panahan.

“Berapa kali cinta anda ditolak putri saya?”

“Tiga kali, Yang Mulia.”

“Lantas, apakah anda tidak pernah melirik wanita lain yang lebih baik?”

“Itu pertanda saya menyerah, sedangkan menyerah merupakan pribadi yang runtuh dan pecundang.”

Raja Stuart hanya bisa mengangguk pelan, kemudian menghentikan langkahnya setelah meninggalkan lapangan area panahan. Bersama Juan yang mengikuti derap langkah beliau. Ada sesuatu yang mengganjal hanya dari anggukan Raja Stuart. Juan hanya bersiap saja, asalkan bukan Janette yang berbicara.

“Anda sangat gigih, demi mengejar cinta putri saya.” Raja Stuart lantas menoleh ke belakang, memandangi wajah tenang Juan yang bercampur gugup. “Orang tua anda pasti cemas karena cinta anda sudah ditolak tiga kali oleh sahabat anda sendiri. Jika anda terpaksa menyerah, sikap gigih anda lenyap. Tapi anda tetap maju, demi cinta anda terhadap putri saya. Tetap saja rasanya sakit.”

Senyum pahit terukir dari sudut bibir Juan. “Itu benar, Yang Mulia.”

“Yang Mulia Raja Samuel juga berpengalaman demikian saat masih muda yang tampan. Demi mengejar cinta Yang Mulia Ratu Elsa yang tertolak. Namun, mungkin kali ini anda harus bersiap pada kepahitan yang ada.” Raja Stuart hanya memberikan antara peringatan kecil dan nasihat yang sedikit menyinggung.

“Itu tidak akan terjadi, Yang Mulia,” balas Juan, “ditolak tiga kali pun saya tidak akan pernah mundur. Anggaplah nyawa saya masih banyak, diberi kesempatan satu kali lagi sampai berhasil. Rasa cinta saya terhadap putri Yang Mulia tidak pernah memudar.”

Setiap perkataan yang terlontar dari bibir Juan, Raja Stuart justru merasa prihatin. Membayangkan cinta seseorang ditolak tiga kali, rasanya seperti terhempas dari muka Bumi. Namun, kata ‘menyerah’ telah dihapus dari pikiran Juan, bahkan dengan seriusnya masih mengejar cinta sahabat kecilnya. Mengabadikan momen persahabatan sejak kecil, Juan tidak mungkin mampu bersembunyi. Mendekati Raja Stuart hanya menemaninya menjadi satu-satunya cara agar Janette membuka hati untuknya.

Mengapa Juan tidak pernah menyerah, apalagi menjadi semakin gigih?

Karena Juan Moreno sudah cinta.

Orang-orang bertanya-tanya terkait hubungan antara keluarga Raja Stuart dan keluarga Raja Samuel yang terlihat kompak. Tanpa percikan peperangan dan permusuhan. Namun, bukan berarti hubungan dua kerajaan itu selalu tenteram dan damai. Tetap saja ada pula masyarakat berbeda wilayah yang mencari masalah. Hanya saja Raja Stuart dan Raja Samuel sudah cukup mengatasi konflik kecil dengan berkepala dingin.

Persahabatan antara Juan dan Janette ternyata lebih lama, yaitu sejak mereka berusia empat tahun. Duduk di sekolah taman bermain yang sama serta saling berkabar melalui sepucuk surat. Mereka hanya bisa saling bertemu di salah satu danau, yang menjadi perbatasan antara Kerajaan Niuescos dan Kerajaan Hermes. Bermain di danau, layaknya bocah yang sangat senang bermain. Akan tetapi, hingga dua tahun belakangan ini komunikasi mereka menjadi jarang, justru keakraban keluarga mereka yang erat.

Seperti yang pernah diungkapkan Raja Stuart, perjuangan cinta Juan mengingatkan pada kisah hidup orang tuanya di masa muda. Tentu itu turun-temurun ke anak mereka. Pangeran tertampan di Kerajaan Hermes itu enggan membantah, membenarkan ungkapan Raja Stuart padanya. Meskipun sudah menjadi masa lalu, tetap saja itu tidak dapat dibantah. Hanya melalui senyuman pahit yang memaksa, sudah tahu masa lalu orang tuanya yang serupa dengannya.

Cintanya ditolak tiga kali oleh sahabatnya sendiri sejak kecil.

Entah mengapa Juan memiliki perasaan khusus terhadap Janette. Memang wanita bersurai merah itu terlihat tangguh. Dengan gaya yang tidak terlihat seperti seorang putri kerajaan. Tetap saja perasaan Juan terhadapnya telah berubah, menjadi benih-benih cinta yang perlahan tumbuh. Tanpa memandang rendah apapun terhadap wanita bersurai merah panjang sedada itu.

Tidak mudah bagi Juan untuk meluluhkan hati Janette. Masa lalu orang tua Juan pun demikian. Butuh perjuangan yang lebih baik daripada sekadar ungkapan perasaan tulus yang terucap. Lantas, Juan tampak ingin mendapatkan saran dari ayahanda tercintanya, Raja Samuel. Sebuah saran atau nasihat agar Janette menerima cintanya setulus hati.

Mencintai seseorang tidak membutuhkan alasan khusus, bukan?

“Dia hanya membutuhkan waktu untuk berpikir lebih matang.” Raja Samuel memahami keinginan putra semata wayang itu. “Ayah memahami alasan Yang Mulia Putri Janette menolak cintamu sebanyak tiga kali. Ibu juga sama dengan Yang Mulia Putri Janette di masa mudanya.”

Bukan jawaban itu yang diinginkan Juan, tetapi Raja Samuel hanya membantu menenangkan putra semata wayang itu.

“Lelaki lain juga ditolak Yang Mulia Putri Janette, seperti memiliki kriteria yang ketat dan pemilih. Yang Mulia Raja Stuart menghukum lelaki siapa pun yang berani menculik putri tercintanya. Itu sama saja dianggap sebagai percobaan kawin lari, sedangkan kawin lari merupakan pelanggaran dengan hukuman sangat berat.”

“Lantas, apa yang harus saya lakukan? Saya tidak mungkin berlutut di hadapan Yang Mulia Raja Stuart, agar Janette menerima cinta saya.”

“Wanita yang mencintai pria ialah dia yang membuka hatinya, juga mencintainya, dan menerimanya sepenuh hati. Memaksakan perasaan cinta pria hanya menyiksa segenap jiwanya.” Kemudian, Raja Samuel pun menutup buku bacaannya, bangkit dari kursi sofa seraya berjalan menghampiri meja kerjanya. Pandangan Juan hanya mengikuti arah ayahandanya.

“Tidak usah terburu-buru untuk menyatakan perasaanmu sekali lagi, bahkan jika kamu sekali lagi ingin mengubah arti persahabatan ini.” Raja Samuel menarik salah satu laci meja kerjanya, mengeluarkan sebuah hadiah terkecil yang dibungkus sangat rapi.

“Apa yang Ayah ambil?” tanya Juan kebingungan.

“Bukankah ini sebuah kado yang harus kamu berikan pada Yang Mulia Putri Janette?” Raja Samuel lantas bertanya balik, “kamu meminta kepada Ayah agar menyimpan kado ini.”

“Ah, itu benar, Ayah,” balas Juan seraya mencengir kecil, “itu sudah satu tahun sejak aku menyimpan barang itu karena Janette kembali menolak perasaan cinta saya.”

“Maka dari itu, lakukan lagi dengan cara yang lebih baik.” Pun, Raja Samuel menyodorkan kado kecil kepada Juan.

“Apa yang harus saya lakukan?” tanya pangeran berperawakan tinggi itu, “saya tetap akan membuat hati Janette terbuka untukku, selagi dia masih menolak banyak pria.”

“Teruslah kamu menyatakan cinta padanya, sama seperti saya sejak muda.” Hanya dengan menaati saran kuno dari Raja Samuel. Juan membungkuk hormat, meskipun di hadapannya adalah seorang raja.

“Saya siap menerima saran Ayah,” balasnya sebelum meninggalkan ruang kerja Raja Samuel.

Hingga Ratu Elsa Meriana — ibunda Juan — mendadak muncul di hadapan Juan tepat setelah meninggalkan ruang kerja Raja Samuel. Juan tahu kebiasaan kecil Ratu Elsa saat berbincang secara empat mata dengan Raja Samuel. Antara ingin tahu topik pembicaraan atau rasa ingin tahu yang mencemaskan. Dengan sikap tenang Juan beserta senyumannya yang meneduhkan hati, Ratu Elsa bertolak belakang demikian.

“Apakah Ibu sedang cemas atau sudah tenang?” Satu pertanyaan meluncur dari bibir Juan, seperti menu hidangan sarapan setiap hari. “Kalau Ibu cemas, Ibu tidak perlu khawatir pada saya. Tetapi kalau Ibu sudah tenang — “

“Yakin jika Yang Mulia Putri Janette akan mencintaimu kembali, Nak?” sela Ratu Elsa dengan intonasi mengkhawatirkan, mengingat putra semata wayang itu terlihat munafik, dari ekspresi tenangnya. “Apakah sebaiknya kamu tidak mencari wanita lain?”

Juan menggeleng, dengan mempertahankan senyuman kecilnya. “Bagaimanapun kedepannya, Janette masih di hati saya.”

“Ibu tidak ingin melihatmu kesakitan lagi, Nak.” Ratu Elsa ingin menangis sebelum Lady Henna menyerahkan selembar tisu. Berjaga-jaga jika sang ratu akan meneteskan air matanya. “Jangan ada lagi kekacauan di ruang ketenanganmu karena patah hatimu. Itu artinya semesta tidak merestui hubungan kalian.”

“Anggap saja nyawa saya banyak, bahkan setelah pengakuanku ditolak.” Kemudian, Juan memamerkan kado kecil, yang seharusnya menjadi hadiah ulang tahun Janette kala itu. “Ayah saja berhasil menjadi suami dan raja yang taat untuk Ibu. Masa, aku harus menyerah begitu saja?”

“Nak, menyerahlah dari Janette.”

“Tidak bisa, Ibu,” tolak Juan, “biarpun aku melirik wanita lain, Janette tetap di hatiku untuk selamanya.”

“Kenapa harus Yang Mulia Putri Janette?” desak Ratu Elsa, mencoba untuk tidak menangisi putra semata wayang yang sedang dilanda patah hati.

“Saya mencintainya pun tidak memiliki alasan utama, tetapi….” Juan melebarkan senyumannya. “… saya memang mencintainya.”

Perkataan yang diutarakan Juan Moreno memang benar.

Juan tidak membutuhkan alasan khusus ia mencintai Janette White.

Dor!

Satu peluru meleset dari target tembakan. Meskipun hanya latihan menembak, Janette tidak suka pelurunya meleset salah sasaran. Alih-alih mengenai bagian jantung, peluru itu menembus di luar sketsa tubuh manusia. Di ruang latihan menembak pribadi, hanya Janette yang bisa masuk. Jajaran menteri, dayang, bahkan anggota keluarga pun tidak diizinkan masuk.

Ruang latihan pribadi menjadi tempat untuk menenangkan pikiran Janette kala sedang banyak pikiran. Bukan perkara kakak pertamanya yang kelak menjadi seorang raja, yang akan menggantikan ayahnya. Tentu saja Janette mendukung masa depan kakak pertamanya sebagai calon raja. Seorang anak bungsu yang disayang ayahnya itu pun bisa terlalu banyak pikiran, bahkan tidak ada suatu permasalahan yang menjadi beban. Hanya sekelebat pikiran yang mengganggu ketenangan, yang entah bagaimana bisa itu datang.

Karena hanya Janette yang berada di ruang latihan pribadi, ia bisa berbicara dengan diri sendiri. Bergumam pun sendirian. Beristirahat pun juga sendirian, di atas sofa lebar yang terasa empuk nan nyaman. Netranya memandangi langit-langit atap, membuang segala banyak pikiran yang berkecamuk. Berharap Tuhan bisa memudahkan urusannya, bahkan itu urusan pribadi.

“Ternyata, Juan sulit untuk menyerah,” gumam Janette kian terpejam, “sampai-sampai dia menemani ayahku saat menonton pertandingan latihan memanah. Betapa gigihnya pangeran itu, seperti dia memiliki ratusan nyawa.”

Gadis bersurai merah panjang sedada itu membuang napasnya. “Aku benar-benar tidak memiliki perasaan khusus padanya, tetapi mustahil persahabatan antar lawan jenis dipertahankan. Kak Marcelino bisa menikah dengan Lady Erlin, kakak iparku, dan awalnya mereka bersahabat.”

Mengingat kakak keduanya, yang telah disebutkan Janette, telah hidup bahagia dengan seorang wanita konglomerat yang cantik. Pria itu bernama lengkap Marcelino Andrew White. Pangeran Marcelino, Adipati dari Kerajaan Niuescos, menjadi salah satu bukti persahabatan antar lawan jenis tidak murni persahabatan semata. Entah bagaimana perjalanan hidup antara Pangeran Marcelino dan Lady Erlin, hanya mereka yang turut merasakan adanya perubahan hubungan persahabatan.

“Tidak, tetapi, apakah aku juga mencintai Juan?” Janette langsung terduduk. “Dia memang memikatku, tetapi mengapa aku menolaknya?”

“Aku tidak pernah mencintainya, bahkan kalau aku mencintainya pun seperti aku mengasihaninya. Ada banyak wanita yang lebih cantik, bahkan lebih hebat daripada aku, tetapi mengapa dia harus mencintaiku?”

Sampai ketukan pintu mengganggu ketenangan Janette, entah siapa tamunya. Janette menjadi kesal kian menggerutu. Lantaran masih ada tamu yang enggan menghiraukan perintah atau larangannya, untuk menginjakkan kaki mereka di depan ruang latihan pribadi. Papan larangan di depan pintunya itu sudah tak acuh.

“Janette, adikku yang tercinta,” panggil kakak tertua, yang bernama Pangeran Thomas Willy White, Putra Mahkota dari Kerajaan Niuescos, “maaf telah mengganggu ketenanganmu. Bolehkah saya dan Marcelino masuk?”

“Pergilah, saudara-saudaraku yang terhormat!” perintah Janette dengan mengusir, “apakah kalian tidak tahu kalau aku sedang ingin menyendiri?”

“Sudah waktunya untuk tidur, dasar tukang penggerutu!” giliran Marcelino ikut menggerutu, “Aku akan pulang ke rumah sebelah jika aku sudah melihat adikku pindah ke kamar tidur.”

“Kapan waktunya aku segera tidur, pun bukan urusan kakak-kakak.”

“Ini perintah Ayah, bukan kami,” Thomas membalas dengan intonasi setengah tegas, “karena hanya kamu yang tidak ada di kamarmu.”

“Juga jangan terlalu banyak memikirkan Pangeran Juan.” Marcelino justru meledek seraya mencengir. “Jika kamu benar-benar mencintainya, seharusnya kalian berkencan saja. Untuk apa kamu munafik pada dirimu sendiri?”

“Dasar berisik!” Janette tak serta-merta menembak panahan dan menancap pintu ruang latihannya. “Pergilah atau aku tembak kakak-kakak menjengkelkan ini!”

“Sialan! Janette mengamuk!”

Tak lama kemudian, kedua kakak Janette itu bergegas meninggalkannya, sendirian lagi. Merasa takut melihat adik bungsu itu menjadi sensitif dan tukang marah-marah. Pada dasarnya, watak Janette memang seperti itu demikian. Mudah tersulut amarah jika sesuatu mengganggu pikirannya. Bukan berarti wanita itu menjadi pemarah setiap hari. Hanya saja kesabarannya sedang bersembunyi, lalu beralih menjadi putri tukang pemarah.

Setelah mencabut anak panahan dari pintu ruang latihan, Janette langsung duduk di pinggir jendela besar. Memperhatikan langit malam serta hujan salju masih turun. Orang-orang sudah tidur, beberapa lampu telah dimatikan satu per satu. Atau orang-orang mungkin masih tengah menikmati malam dengan cuaca sangat dingin.

Di pinggiran jendela itulah menjadi tempat Janette merenung.

“Juan, bisakah kamu pergi saja?” gumamnya hanya bisa menghela napas panjang. “Kalau aku mencintaimu juga, orang-orang akan menganggapku hanya karena belas kasihan semata.”

Kemudian, Janette menyandarkan kepalanya ke dinding. “Apakah aku harus memanggilnya ke sini?”

“Yang Mulia, anda diperintahkan Yang Mulia Putri Janette untuk menemuinya segera. Ada yang ingin Yang Mulia Putri Janette sampaikan pada anda.”

Juan berharap itu hanyalah mimpi semata, tetapi kenyataannya itu sebuah mimpi yang nyata. Segera memerintah salah satu pengawalnya untuk menyiapkan kereta kuda sebagai alat transportasi. Tidak ada waktu untuk melanjutkan hidangan sarapan, meskipun hidangan tersebut sangat lezat. Tidak lupa ia berpamitan pada kedua orang tuanya, juga menitipkan doa yang baik untuknya.

Selama perjalanan menuju wilayah Kerajaan Niuescos, tiada hentinya Juan memperhatikan kado terkecil di sampingnya. Persetan dengan seragam serba putihnya yang belum sempat dirapikan para dayang dengan baik. Hanya seragam itu yang dikhususkan ketika akan bertemu dengan Janette. Yang terpenting bagi pria berperawakan tinggi itu hanya bertemu dengan sahabatnya — tidak, calon kekasihnya.

Hingga kereta kuda itu berhenti, tepat dengan kehadiran Janette secara tiba-tiba. Seharusnya mereka bertemu di rumah Raja Stuart, tetapi Janette justru muncul lebih awal. Wanita itu mengenakan gaun hitam dan mengenakan sarung tangan warna senada, berbeda dengan Juan yang mengenakan kostum serba putih.. Surai merah khas Janette ditutupi dengan topi bulu putih, berbeda dengan gaun hitamnya.

Persetan dengan janji temu di rumah. Bertemu di tengah jalan pun tidak masalah bagi Juan. Lantas pria itu membuka pintu kereta kuda, kemudian turun dari sana secara perlahan. Sejenak kedua insan itu membungkuk hormat, meskipun mereka bersahabat.

“Ada gerangan apa yang membuatmu datang secara tiba-tiba dalam perjalanan menuju rumahmu?” Juan bertanya, kemudian segera menyembunyikan kado terkecil di punggungnya yang lebar, “Seharusnya kamu di rumah saja, alih-alih berjalan kaki jauh-jauh dari rumahmu.”

“Jangan berbicara di sini,” desis Janette setengah berbisik, “kita pindah saja ke dalam kereta itu. Ada yang ingin aku sampaikan padamu.”

Juan hanya mengulas senyuman dan membiarkan Janette menaiki kereta kuda terlebih dahulu, kemudian menyusulinya di belakang.

Perjalanan menuju tempat kediaman Raja Stuart masih membutuhkan waktu beberapa menit. Selama dalam perjalanan, Juan dan Janette tak menunjukkan keakraban seperti hubungan persahabatan. Kecanggungan yang menyelimuti, bahkan belum memulai percakapan. Membiarkan kereta kuda tetap berjalan, selagi tidak ada penjahat yang turun ke jalan dan saling menyerang.

“Ada gerangan apa — “

“Aku langsung saja bicara pada intinya.”

Janette menoleh dan memandangi Juan, tepat ketika pria itu baru saja membuka mulutnya. Tampak serius ekspresi tergambarkan dari wajah Janette. Juan sudah tahu apa yang akan dibicarakan wanita dihadapannya.

“Dengan tanpa menurunkan rasa hormat padamu, berhentilah mengejarku jika aku sudah menolak cintamu tiga kali. Seharusnya kita tetap bersahabatan seperti ini saja. Orang-orang langsung menyerah begitu cinta mereka ditolak, tetapi kamu gigih sekali hanya untuk mencintai seseorang yang mempertahankan persahabatan ini. Kalau kamu masih bertingkah seperti ini, aku merasa jadi kasihan padamu.”

Namun, Juan hanya tersenyum, lantas lagi-lagi ia harus mendengar kenyataan yang pahit. Mengingat perkataan repetisinya yang pantang menyerah nan gigih. Bahwa, anggapan nyawanya masih banyak, meskipun cintanya ditolak tiga — sekarang sudah empat kali. Jika Juan harus menyerah, orang-orang akan memandangnya sebagai pecundang.

“Maafkan aku, Juan, dan jangan mudah tersinggung oleh perkataanku barusan,” ujar Janette kembali menoleh ke arah Juan, kemudian melirik kado terkecil di genggaman pria itu, “apakah kamu akan tetap menyimpan kado itu hingga aku membalas pengakuan cintamu?”

“Tentu saja….” Juan kembali tersenyum dengan tegar. “… hingga kamu menerima pengakuanku.”

“Bolehkah aku menerima hadiahmu?” Janette baru akan meraih kado terkecil itu, tetapi Juan menariknya kian menolak. “Kamu tidak mencintaiku, maka kado ini sudah habis masa berlaku.”

“Juan.”

“Aku tetap tidak akan menyerah sampai kamu benar-benar mencintaiku.” Lihatlah Juan yang tetap pada pendiriannya.

“Mengapa kamu harus mencintaiku jika kita bisa bersahabatan selamanya? Bukankah ini sama saja dengan menjalin hubungan asmara?”

Juan hanya diam saja, menimbulkan satu pertanyaan.

“Aku menolak pengakuan cintamu, bukan berarti persahabatan berakhir. Kamu juga sudah seperti belahan jiwaku. Dan kamu tidak perlu lagi mengejarku ketika aku ingin hidup bahagia bersamamu sampai Tuhan memisahkan kita.”

Namun, Juan justru mengernyit kian kebingungan. “Apa maksudmu?”

Kemudian, Janette membuang napasnya. “Kamu tidak perlu mengakui perasaanmu padaku karena aku juga benci melihatmu bersama wanita lain.”

Juan kembali terdiam di tempat. Pria berperawakan tinggi itu mencoba untuk mencerna situasi canggung yang menggantung. Padahal Janette sudah menolak pengakuan cinta Juan. Yang membingungkan dari perkataan wanita itu seperti kehilangan tujuan. Tidak ingin persahabatan terputus karena pengakuan cinta salah satu pihak, tetapi Janette benci melihat Juan akan menemukan wanita lain sebagai pendamping hidup.

Sementara kereta kuda itu sudah mulai mendekati tempat kediaman Janette, kini Juan enggan menanggapinya. Sampailah dengan asumsinya, bahwa kenyataan Janette mulai terlihat akan menerima cintanya. Tidak, cinta tidak cukup mendapat pengakuan karena persahabatan tidak murnilah yang mengakui. Persahabatan mereka yang terhitung sangat lama, sulit untuk mengungkapkan perasaan mereka yang sesungguhnya.

Janette sejatinya masih ingin mempertahankan persahabatannya dengan Jua. Tetapi wanita bersurai merah itu memilih ingin hidup bahagia selamanya bersama sahabatnya. Yang kini mereka bukan lagi persahabatan, melainkan mereka ingin berhubungan lebih serius. Janette menolak pengakuan cinta Juan karena bersahabatan lebih lama pun sudah termasuk menjadi pasangan sehidup dan semati.

“Janette,” panggil Juan seraya berdeham, “kenapa cinta selalu lari?” tanyanya. Namun, yang Janette balas hanya senyuman serta diam.

Juan tersenyum lebar sambil menyodorkan hadiah terkecil kepada Janette. “Terima kasih sudah menerima perasaanku.” Kemudian, kado terkecil itu diterima wanita yang kelak akan menjadi calon Putri Mahkota itu. Dibukanya isi kado yang telah disimpan Juan sejak lama.

Sebuah kalung berbentuk buah stroberi.

“Ini cantik,” balas Janette memuji, kemudian langsung membelakangi Juan, “pasangkan kalung ini untukku, Juan.”

“Dengan senang hati, Janette.”

Disingkirkannya surai merah Janette olehnya sendiri, sedangkan Juan memasangkan kalung pemberiannya di leher jenjang Janette dari belakang. Pria itu tak hentinya menyunggingkan sudut bibirnya dengan tulus, bahkan setelah kalung itu terpasang di bagian leher Janette. Kalung yang kini menjadi sempurna ketika teruntai di leher pasangan hidup.

Terlebih lagi, Janette sangat cantik di mata Juan.

“You’re so beautiful.” Juan mengelus lembut sebelah pipi Janette, netranya berbinar-binar kagum. Begitu juga dengan Janette yang menunduk kian mencengir penuh malu-malu.

“Kamu jauh lebih tampan daripada kedua kakakku,” balas wanita bersurai merah itu seraya mengejek dua saudara laki-lakinya. Sebab, mereka sudah menikah dengan pasangan mereka masing-masing.

Kereta kuda yang ditumpangi Juan dan Janette, beserta sopir pribadi, telah sampai di tempat kediaman Raja Samuel dengan selamat. Padahal Juan berniat untuk memberikan hadiah terakhir yang manis. Mengingat hari Valentine akan tiba dalam waktu dua minggu lagi. Hadiah terakhir yang manis sebagai ungkapan cinta yang amat mendalam.

Namun, ternyata itu gagal.

“Sial,” umpat Juan karena gagal memberikan ciuman pertama pada Janette, “kita sudah sampai di rumahmu.”

“Itu bagus,” balas Janette langsung membenarkan surai merahnya.

“Apa yang akan kita lakukan di sana?” Juan membuka pintu kereta kuda sebelum turun dari sana. “Kita sudah mengobrol selama perjalanan.”

“Aku langsung akan memberitahukan kepada keluargaku….” Janette beringsut pelan, kemudian menggenggam Juan agar tidak terpeleset saat turun dari kereta kuda. “… bahwa kita harus segera menikah.”

“Apa?” Juan melongo termangu-mangu. “Kita baru saja saling mengakui perasaan, bukan?”

“Akan lebih baik jika kita segera melanjutkan hubungan ini ke jenjang serius.” Janette ikut tertawa kecil. “Agar aku bisa mencintaimu selamanya.”

“Aku belum mengundang orang tuaku, bahkan kita belum merencanakan lamaran.”

“Itu bisa menyusul.”

Sepeninggalnya Janette masuk ke dalam rumahnya, Juan memandang punggung wanita itu dengan mulut menganganya.

Sebuah pertemuan mendadak, tak terduga, dan tak direncanakan.

Yang penting Juan Moreno bahagia.

END.

--

--

Sigi
Sigi

No responses yet