Melodrama

Sigi
10 min readNov 6, 2021

--

Pulang bekerja dengan tubuh yang letih dan penat. Melepaskan afron yang sudah dikenakannya sejak memulai pekerjaan sebagai seorang barista. Cukup melelahkan bekerja di sebuah klub bar, sampai-sampai ia menghabiskan hampir sebotol air mineral. Berbeda dengan orang-orang lain yang menghabiskan sebotol atau setengah botol anggur sampai mereka teler, ia merasa berbeda. Hanya menghabiskan air mineral di klub bar saja sudah dicibiri.

Padahal, kenyataannya, Son Youngtaek tidak bisa minum beralkohol. Baginya, air mineral sudah seperti minuman bahagia. Yang pernah meneguk sebotol air mineral pun Youngtaek bisa tersenyum. Melihat sosok gadis yang menghabiskan seloki minuman beralkohol tinggi. Sengaja Youngtaek mengintip dari jarak jauh saat hendak pulang bekerja. Giliran orang lain yang berganti tugas.

Gadis yang ia temui ternyata merupakan mantan kekasihnya. Youngtaek ingin menyebutkan namanya, tetapi itu justru semakin sulit melupakannya. Memang dia pernah berhubungan sebelum mereka memilih untuk berpisah. Sebuah akhir yang cukup menyakitkan.

Selama mereka menjadi mantan sepasang kekasih, nyatanya mereka masih sering mengirim pesan singkat. Youngtaek hanya menganggap mantannya sebagai teman curhat, tetapi belum tentu bagaimana dengan si mantannya. Hanya saja… Youngtaek tidak suka melihat mantannya itu sedih. Melihatnya minum satu seloki bir saja sudah membungkam perasaan Youngtaek.

Tidak, bukan berarti dia ingin mengajak kembali.

“Ah, aku memang lagi mabuk karena kekasih baruku ternyata akan menikah. Bukankah ini agak keterlaluan? Dia masih mencintaiku, bahkan dia seperti orang aneh yang melakukan hal demi membahagiakanku. Tapi dia cukup berengsek.”

Youngtaek membaca isi pesan dari mantannya, yang tiba-tiba mengirim ucapan ‘selamat pagi’, seperti hari yang dulu. Ini mengingatkannya pada masa lalu ketika keduanya saling mengucapkan ‘selamat pagi’. Untuk kali ini setelah hubungan berakhir, entah siapa yang memulainya saat mengucapkan ‘selamat pagi’. Biasanya, pihak pria yang mengucapkan ‘selamat pagi’ atau ucapan lebih panjang dari itu, tetapi pihak wanita juga bisa demikian.

Youngtaek memilih hanya mengangguk-ngangguk tanpa membalas isi pesan tersebut. Ia berkomitmen, bahwa dirinya menjaga kerahasiaan mantan kekasihnya yang masih mengirim pesan singkat padanya. Membaca dalam dia, menyimak sambil mengangguk, dan menjawab sebisanya tanpa melukai perasaan. Alasan mereka mengakhiri hubungan pun juga masih dipendam oleh mereka sendiri.

Ah, Jung Haerim benar.

Kekasih barunya malah mencampakkannya dengan menikahi gadis lain. Haerim dan kekasih barunya padahal sudah berkencan selama satu tahun, tetapi baru mengetahui kabar tersebut sejak kemarin. Dengar-dengar, kekasih baru Haerim telah mencampakkannya karena dia akan menikahi gadis lain secara tiba-tiba. Apa yang lebih pahit?

Mereka ternyata masih menjalin hubungan gelap di belakang Haerim.

Youngtaek tak mempermasalahkan Haerim yang datang ke rumahnya. Bukan membawa sebotol bir atau sekotak tisu. Haerim malah terlihat lebih banyak senyum daripada sedih. Ini lantas membingungkan, mengingat Haerim merasa syok harus mendengar kabar itu. Akan tetapi, Youngtaek tak mencampuri urusan itu, melainkan hanya menyiapkan segelas es teh buatannya.

“Aku malu kalau aku menunjukkan tanda menyesal padamu.” Ternyata inilah alasan Haerim lebih banyak tersenyum daripada menangis atau menyesal.

“Kamu sudah sarapan?” tanya Youngtaek, mengalihkan topik dengan cepat.

“Aku belum lapar,” jawab Haerim seraya menyeruput segelas es teh, kemudian menaruhnya kembali ke meja makan. “Kalau kamu tidak keberatan, maukah kamu menemaniku?”

Youngtaek hanya memegang tengkuknya sendiri seraya menimbang-nimbang. Pergi menemani mantan kekasihnya saja sudah canggung baginya. Namun, Haerim juga butuh hiburan, yang mampu melupakan kekasih barunya yang akan menikahi orang lain. Haerim tampak menunggu jawaban Youngtaek.

“Akan jadi canggung jika kita pergi bersama seperti mengenang masa lalu kita,” hanya itu yang mampu ia balaskan.

“Aku tahu. Rata-rata mantan kekasih selalu menjaga jarak, bahkan memblokir semua akun media sosial mantan kekasihnya pun terdengar kekanak-kanakan bagi orang lain. Namun, ini tidak berlaku jika itu aku.” Haerim hanya meninggalkan senyuman manisnya.

“Apa maksudmu?” Youngtaek seketika kebingungan.

“Kita tetap bisa lebih akrab lagi daripada aku harus memutuskan komunikasi denganmu. Apakah aku salah bagimu?” jelas gadis bersurai cokelat sebahu itu.

“Tunggu sebentar, Elly-ssi.” Youngtaek seketika memerhatikan wajah Haerim, dengan menyebut nama panggilan kesayangannya saat mereka masih menjalin hubungan kekasih. “Sepertinya kamu sedang sakit.”

“Aku tidak sakit, Taek-ssi,” balas Haerim sembari menempelkan dahinya dengan jemari kanannya.

“Kalau kamu tidak sakit…,” Youngtaek sejenak mengambil napasnya sebelum melanjutkan, “… kamu baik-baik saja?”

“Aku baik-baik saja. Sungguh.” Nyatanya, Haerim berbohong.

“Lantas, kemanakah kita akan pergi?” Youngtaek bertanya, dengan menangkap kebenaran dari sorot mata Haerim.

“Kemana saja, asalkan aku bisa melepaskan semua rasa sakitku saja.”

Meskipun Haerim hanya diam seraya tersenyum kecil, Youngtaek masih kebingungan dan tak mempermasalahkan itu. Netranya sesekali melirik mantan kekasihnya sebelum kembali fokus pada menyetir mobil. Haerim hanya mengulum bibirnya, tampak menahan diri untuk tidak menangis. Gadis itu mudah menangis, bahkan disakiti pun ia mengurung seharian sampai ia cukup lega. Ketika kembali menemui Youngtaek, mantan kekasih pertamanya, Haerim bahkan tampak menunjukkan rasa sesalnya lewat sorotan mata.

Jika waktu dapat berputar lagi, dua-duanya menyesal telah mengakhiri hubungan asmara. Bedanya, keduanya mengakhirinya dengan baik-baik. Tidak ada pertengkaran apapun, bahkan beradu mulut yang berujung menyakiti. Keduanya masih bisa mengendalikan emosi masing-masing. Tidak ada yang benar diantara dua-duanya. Mereka punya kesalahan masing-masing.

Dan beginilah kenapa mereka masih bisa akrab sebagai sepasang mantan kekasih.

Youngtaek tidak ingin menambah beban pikiran Haerim. Setelah dicampakkan kekasih barunya yang akan menikahi gadis yang dihamilinya, Youngtaek bisa merasakan pahit dan sakit yang bertubi-tubi, serupa dengan Haerim. Nyatanya, kekasih baru Haerim sudah menghempaskannya ke dalam jurang, membuat Youngtaek harus menggunakan otaknya untuk berpikir.

Jangankan ikut merasakan pahit dan sakit yang amat mendalam.

Mendengar kabar itu saja nyerinya sampe ke hulu hati.

Dan di sinilah, Youngtaek memutuskan untuk pergi ke rumah kubus miliknya, tepatnya berada di ruang keluarga. Tempat biasanya ia dan Haerim berkencan. Dulu, mereka hanya menikmati langit malam beserta taburan bintang lewat jendela besar. Mengobroli hal manis hingga merencanakan pernikahan jika keduanya sudah siap dan mendapat restu. Namun, harapan itu kian sirna setelah mereka mengakhiri hubungan secara baik-baik.

Kini mereka berada tempat itu saat pagi masih menyingsih.

“Ah, kenapa aku mengambil keputusan yang salah?” Haerim memulai pertanyaan tanpa meneteskan air matanya.

“Jangan menyalahkan dirimu sepenuhnya. Kita memang tidak bisa bersatu saja,” balas Youngtaek ikut memandangi matahari yang masih senantiasa menyinari dunia.

“Sepertinya, ini menjadi hukuman karena aku orang pertama yang meminta putus.” Gadis bermata sipit itu membuang napasnya.

“Tidak. Bukankah aku duluan yang meminta putus?”

“Aku yang memilih putus…,” jawab Haerim mencoba untuk tenang, “…karena kita bertengkar, berdebat adu mulut, dan semua karena kesalahan kita.”

Youngtaek memilih diam, membiarkan surai cokelatnya diterpa angin pagi. Wajahnya juga ikut terkena terpaan angin, terasa sejuk dan hangat. Ketika perkataan Haerim memang ada benarnya, Youngtaek juga membenarkan.

“Kamu… sudah mendengar kabar itu, kan?” tanya Haerim akhirnya mulai terbuka, kemudian Youngtaek mengangguk pelan.

“Ketika aku mengetahui bahwa pacarku akan menikahi gadis yang terlihat perutnya mulai bunting, aku ingin sekali rasanya pamit dari Bumi. Sudah hukumannya bagiku karena meminta putus darimu, bahkan sepertinya aku sudah tidak layak dicintai lagi. Aku merasa malu, betapa kejamnya aku yang sudah menyia-nyiakan sosok yang membuatku nyaman sebelumnya.” Saat itulah Haerim hanya bisa meneteskan air matanya, yang sudah ia tahan selama beberapa jam.

“Sejak aku berhubungan asmara dengan kekasih baruku, aku sungguh merasa nyaman padanya. Aku tidak tahu jika dia berbohong dihadapan publik, termasuk aku. Aku pikir, dia sudah mengakhiri hubungan dengan gadis lain, tetapi ternyata dia membuat skenario kejam padaku.”

Mendengar curahan Haerim yang mulai menyesakkan di dada, perasaan Youngtaek juga menjadi sesak. Bibirnya ia katupkan, karena bingung harus melakukan apa, agar Haerim bisa menahan emosi. Namun, melihat mantan kekasihnya yang mulai memukul-mukul dadanya, semakin membuat Youngtaek bersalah.

“Aku bisa melihat bagaimana orang tuaku melemparkan satu lusin telur pada kekasihku, bahkan ibuku pingsan karena kabar buruk itu. Ayahkulah yang menenangkanku sembari menunggu ibuku siuman. Lantas, kekasihku? Dia langsung memutuskan hubungan denganku, bahkan sudag menyerahkan undangan pernikahan yang akan diadakan dua minggu lagi. Kok bisa dia semudah itu menyebarkan undangan dengan berlagak orang sombong seperti itu?”

Semakin kuat pukulan Haerim di dadanya, semakin dirasakan pukulan amat kuat dari perasaan Youngtaek sendiri. “Bagaimana bisa… bagaimana bisa aku ditipu seperti ini? Bagaimana… aku harus menerima kepahitan ini? Mengapa takdir menyatukanku pada orang yang bejat?”

“Jangan berkata begitu, Elly-ssi,” ucap Youngtaek sembari menghadapkan Haerim ke arahnya, menyingkirkan kepalan tangannya yang memukul-mukul dadanya sendiri, “Bukan sepenuhnya salahmu juga. Ada kalanya takdir jahat pada kita sehingga terasa tidak adil harus hidup. Kamu ditinggal nikah oleh kekasihmu juga bukan salahmu. Kekasihmulah yang berengsek karena sudah menusukmu selama kalian pacaran. Untuk apa kamu masih menyalahkan dirimu?”

Haerim lantas menggeleng seraya menunduk. “Kamu bisa saja masih memaafkanku yang sudah memutuskan hubungan ini. Tapi, aku benar-benar tidak layak dicintai lagi, bahkan jika kamu mungkin mengajakku kembali lagi.”

Kemudian, Youngtaek menggeserkan posisi duduknya, menariknya ke dalam pelukan hangat. Haerim membiarkan mantan kekasihnya itu memeluknya. Yang gadis itu lakukan hanya menangisi dan membodohi dirinya sendiri.

“Jangan berkata begitu lagi,” ucapnya sembari menenangkan Haerim dengan menepuk punggungnya, “Menyalahkan dirimu sendiri tidak akan menyelesaikan masalah. Justru semakin sering kamu menyalahkan dirimu, perasaannu jauh lebih terluka.”

Bukan balasan yang Youngtaek dapatkan. Justru ia merasakan tubuh Haerim terguncang sedikit. Ini semakin membuat Youngtaek ingin menangis, tetapi ia bisa mengendalikannya. Jikalau ia ikut menangis, Haerim akan memecahkan tangisnya. Youngtaek sebisa mungkin tersenyum sembari menepuk punggung Haerim.

“Maafkan aku, Taek-ssi,” isak Haerim, “Maafkan aku karena aku bodoh dan mengambil keputusan yang salah. Melihatmu yang masih bertahan seperti ini, semakin membuatku sedih karena akulah yang membuatmu patah hati.”

Ketimbang membalas atau menerima maaf, Youngtaek semakin mendekapkan tubuh Haerim. Ia anggap permintaan maaf dari mantan kekasihnya itu diterima. Youngtaek mengelusi puncuk surai cokelat Haerim dengan lembut, kemudian mengecupi ujung kepalanya seraya memejamkan matanya. Setelah itu, dagunya menempel pada ujung kepala Haerim seraya menatap langit-langit atap.

Youngtaek akui, bahwa ia masih menyayangi Haerim. Namun, bukan berarti ia ada harapan untuk bisa kembali pada gadis itu. Melihat kepribadian Haerim akhir-akhir ini, memang mereka layak menjadi teman dekat sekaligus teman saling melempar curahan hati. Entah bagaimana dengan Haerim sendiri, tetapi Youngtaek tak perlu berharap banyak.

Setidaknya mendengar perasaan Jung Haerim yang sesungguhnya mampu melegakan suasana hati Son Youngtaek.

Sepanjang di rumah kubus, Youngtaek hanya membiarkan Haerim tidur sendirian di kamar kosong. Youngtaek meninggalkan segelas air mineral pada Haerim, kemudian berpamitan ke halaman belakang untuk mengerjakan apa yang produktif di sana. Harusnya Youngtaek menemani Haerim, tetapi gadis bersurai cokelat itu tidak ingin diganggu. Kembali ke rumahnya juga tidak mungkin karena ayahnya menemani ibunya.

Sepanjang renungannya, bersama kenangan manis bersama mantan kekasih kedua, Haerim ingin menghapus semua kenangannya. Haerim memerhatikan beberapa foto yang ia tangkap dari ponselnya, yang mengungkapkan perselingkuhan mantan kekasih yang kedua. Berpegangan tangan, berpelukan, dan berciuman semakin mengiris hati Haerim. Layaknya sudah hukumannya demikian setelah memutuskan hubungan asmara dengan Youngtaek.

Di sisi lain, Youngtaek mengamati beberapa lirik lagu ciptaannya yang tertulis bak menulis cipta puisi. Ada banyak makna dari lirik lagu ciptaannya, tetapi Youngtaek enggan memublikasikannya ketika ia melakukan rekaman lagu. Pemuda berperawakan tinggi itu memandangi langit-langit atap terbuat dari kayu jati, kembali memikirkan apa yang akan Haerim lakukan. Memikirkan mantan kekasihnya saja sudah cukup membuat isakan tangis kembali tumpah.

Youngtaek menangis.

Dengan perasaannya yang amat luka. Bukan perkara pernah adu mulut dengan Haerim. Melihat gadis itu kacau saja, sudah mengganggu ketenangan Youngtaek. Kekhawatirannya terhadap Haerim makin menjadi-jadi hanya melihat ekspresinya yang tersembunyi. Memang sudah Youngtaek duga, bahwa Haerim akan terjadi seperti sekarang.

Hingga menjelang makan malam pun Haerim masih mogok makan. Pernah ditawari roti isi selai kacang buatan Youngtaek, namun Haerim hanya mengunyah tiga kali. Makan siang pun Haerim sengaja lewatkan, membuat Youngtaek memahaminya. Haerim tak bersemangat untuk mengecas kembali energi yang terkuras. Melewatkan makan malam, hanya bisa tidur di kasur.

Haerim benar-benar tidak ingin diganggu Youngtaek.

Sepanjang perjalanan, Youngtaek hanya melirik Haerim yang tengah tidur. Terlalu banyak menangis membuat keadaan semakin lelah. Haerim masih belum membenarkan kekacauan yang terjadi. Seperti ia tinggalkan dari rumah yang keadaannya menjadi kapal pecah. Dalam tidur Haerim, Youngtaek meyakinkan diri demi kebaikan sang mantan kekasihnya.

Sampailah keduanya di depan rumah Haerim.

“Elly-ssi, bangunlah,” ucap Youngtaek pelan, kemudian gadis itu terbangun seraya memandangi sekitarnya.

“Pulanglah dan istirahatlah. Orang tuamu pasti menunggumu.” Youngtaek membiarkan tangannya tak melakukan apapun saat Haerim menegakkan kursi jok penumpang.

“Aku pernah berpikir, apakah aku sudah mengecewakan orang tuaku? Aku anak tunggal yang tak memiliki sandaran pada siapapun, kecuali orang tuaku. Apakah aku akan dianggap anak yang buruk?” Lagi-lagi Haerim menyalahkan dirinya, membuat Youngtaek tak kuat harus mendengarnya.

“Elly-ssi,” panggilnya seraya membuang napasnya kian berat, “Kamu harus istirahat. Kamu bahkan melewatkan jam makan.”

Memang benar apa yang dikatakan Youngtaek. Haerim hanya bisa menyalahkan dirinya, tetapi itu juga membuang tenaganya sendiri.

“Biarkan aku yang membawamu sampai ke teras rumah.” Youngtaek langsung membuka pintu mobilnya, namun tangannya ditahan Haerim. Ada sesuatu yang ingin diungkapkan.

“Jika kamu bertemu dengannya, jangan kau lampiaskan emosi padanya. Biarkan Tuhan yang nanti menghukumnya, bukan kamu,” ujar Haerim melirih, kemudian Youngtaek mengangguk.

“Kamu dan dia dekat, kan? Aku mohon padamu untuk tidak membicarakan masalah ini atau terserah padamu bagaimana kamu menghadapi si berengsek itu.”

Kenyataannya, Youngtaek berteman dekat dengan kekasih baru Haerim, yang memutusnya secara tiba-tiba demi menikahi gadis yang dihamilinya. Haerim tahu, Youngtaek mudah meluapkan emosi. Youngtaek tahu, teman dekatnya berperilaku jahat pada Haerim. Pemuda itu sudah menahan kepalan tangannya sebagai hukuman buat teman dekatnya.

Namun Youngtaek tak mungkin memicu keributan.

“Aku mengerti, Elly-ssi,” balas pemuda bersurai hitam itu, kemudian melepaskan genggaman gadus bersurai cokelat sebahu itu untuk turun dari mobil. Youngtaek melangkah, berpindah menuju pintu depan penumpang, membukakan untuk menyilakan Haerim turun dari mobil.

Saat Youngtaek menutup pintu mobil kembali, ia mendengar seruan ibunya Haerim. Youngtaek memandangi ekspresi wanita paruh baya itu, yang tampak cemas pada Haerim. Pandangan tertuju pada Ibu dan putri tunggalnya yang langsung memeluk hangat, membuat Youngtaek ikut tersenyum. Ia lega, melihat Ibu dan putrinya berpelukan setelah kejadian buruk menimpa.

Giliran Ibu Haerim yang memandangnya, dan lihatlah perubahan ekspresi cemasnya. Tampak seperti masih menghormati kedatangan Youngtaek. Keduanya saling membungkuk sopan, bahkan beliau tidak menghidupkan keadaan yang canggung. Ibu Haerim masih tersenyum pada Youngtaek seraya mendekatinya, kemudian menepuk punggungnya kian tulus.

“Saya senang melihatmu mengantarkan putri saya, juga saya meminta maaf karena dia sudah merepotkan Anda,” ucap Nyonya Jung seolah Haerim hanya merepotkan Youngtaek.

“Astaga.” Pemuda itu tertawa lepas. “Dia tidak merepotkan saya sama sekali. Dia hanya butuh curhat saja setelah kejadian itu menimpa kalian.”

Tidak lama kemudian, Nyonya Jung memandangi Youngtaek, antara terharu dan bahagia. “Terima kasih, Nak. Meskipun Anda tak bisa lagi bersamanya, saya masih takjub melihat Anda mengantarnya dengan baik. Saya khawatir jika sesuatu menimpanya.”

Di sinilah Youngtaek terus tersenyum, meskipun kenyataannya ia memang tak mungkin bersatu lagi. Melihat Haerim yang tampak menyimpan secercah harapan, Youngtaek masih tidak mungkin. Setidaknya harus melihat Haerim bahagia lagi, tersenyum lagi, dan menjadi periang lagi.

Youngtaek hanya berpamitan pada Haerim dan ibunya. Melihat seorang Ibu dan anaknya masuk ke dalam rumah, Youngtaek memudarkan senyum tampannya. Ia hanya meninggalkan sisa senyuman yang terukir dari giginya, memandangi keadaan rumah Haerim yang kembali menata kehidupan baru.

Elly-ssi, temukanlah kebahagiaanmu kembali.

END

--

--

Sigi
Sigi

No responses yet