Di Restoran Motae Solo People, Yeosang menemukan banyak pengunjung yang mengenakan pakaian serba hitam serta menikmati hidangan yang disebutkan. Beberapa dari mereka sudah membawa teman dekat yang satu nasib, kecuali Yeosang yang datang sendirian. Memilih duduk di bangku kosong, kemudian memesan paket khusus Black Day. Ditambah satu porsi jajangmyeon tambahan. Bukan karena Yeosang kelaparan, melainkan ia menyukai menu gratis.
Dua mangkuk jajangmyeon dan satu gelas kopi hitam telah memanjakan mata Kang Yeosang, bersiap untuk menghabiskan semuanya. Ditemani lagu-lagu khusus orang jomblo. Yeosang mengabaikan bekas saus hitam yang mengotori sekitar bibirnya. Mengabaikan kopi hitam yang perlahan menjadi dingin, juga suasana restoran yang bising dan kurang kondusif oleh curhatan orang-orang senasib.
"Apa-apaan ini?"
Sumber suara itu mengurungkan Yeosang yang baru membuka mulutnya. Lirikan matanya menangkap sosok asal sumber suara dari dekat. Sosok gadis yang turut bergabung dengan orang-orang satu nasib.
Dia bernama Jo Serim.
"Mengapa kamu ada di sini?!" Gadis itu bertanya ketus, padahal Yeosang hanya menyantap makan malam di restoran yang tercantum di dalam kupon.
"Memangnya kamu pemilik restoran ini?" Pemuda bersurai hitam itu bertanya balik dengan santai, seolah ia hanyalah pelanggan biasa yang satu nasib dengan para jomlo. "Aku hanya makan malam di sini saja. Mengapa jadi kamu yang ketus?"
"Tentu saja!" Serim hampir meninggikan intonasinya, membuat beberapa pelanggan mengarahkan atensi ke arahnya dan Yeosang. "Tidak adil rasanya harus bertemu dengan mantan kekasih paling menyebalkan di dunia."
"Memangnya kamu pemilik restoran ini?" tanya Yeosang sedikit menegaskan.
"Bukan. Aku hanya datang karena aku senasib," jawab Serim, "senasib dengan orang-orang jomlo."
"Lantas, kenapa kamu marah-marah hanya karena aku di sini?"
"Karena aku tiba-tiba bertemu dengan seorang mantan kekasih paling menyebalkan di dunia, hanya dengan meninggalkanku karena mementingkan uang, pekerjaan, dan kekayaan."
"Kamu juga demikian sama denganku, bukan?"
Kemudian, Yeosang mengalihkan netranya ke arah kursi kosong, yang posisinya berhadapan dengannya. "Daripada kamu kelelahan mencari kursi kosong, lebih baik menumpang duduk saja. Hargai pelanggan yang lain."
Maka, Serim hanya menurut dan duduk berhadapan dengan Yeosang. Gadis bersurai pirang itu menaruh kartu nomor antrian dan duduk dengan cara yang tenang, kemudian memerhatikan Yeosang yang sibuk makan. Serim memutarkan bola matanya, kemudian beralih memerhatikan keadaan sekitarnya. Memang tempat duduk yang kosong pun sudah terisi, bahkan ada yang terpaksa berbagi tempat duduk.
Kenapa dia hanya makan daripada selang-seling mengajakku berbincang? Serim hanya bisa membatin, seperti dirinya menjadi obat nyamuk.
Tidak lama kemudian, semangkuk jajangmyeon dan segelas kopi hitam telah datang, membuyarkan lamunan Serim yang bercampur jengkel.
"Aku makan, Yeosang-ssi," ucap gadis bersurai pirang seraya membuka pembungkus sumpit, kemudian mematahkannya menjadi dua.
Yeosang hanya menanggapi dengan deheman tertahan, hanya sibuk menghabiskan semangkuk jajangmyeon.
"Ah, sialan!"
Hampir semua mata memandang tertuju pada tempat meja yang diduduki Yeosang dan Serim. Lantaran gadis itu mendadak bangkit dari kursi seraya mengumpat dengan intonasi tinggi. Merasa dirinya selalu diabaikan Yeosang, padahal suasana saat itu menjadi tenang. Untungnya segelas kopi hitam tidak ikut terjatuh dari meja.
Barulah Yeosang menyadari kejengkelan Serim, tepat saat semangkuk jajangmyeon porsi pertama telah habis.
"Kenapa kamu mengamuk?" Yeosang bertanya, masih dengan sikap tenangnya. "Jika kamu benci jenuh, lebih baik pindah meja saja."
"Justru aku terpaksa duduk semeja denganmu karena orang-orang harus rebutan meja! Tapi yang lebih memancing emosiku adalah diabaikan mantan kekasih sepertimu!" Serim masih tidak menjaga intonasinya, sedangkan orang lain memandangnya seperti orang tidak waras.
"Lantas, apakah akan menjadi masalah besar bagimu?"
"Tentu saja! Ini seperti aku menjadi angin lalu!"
"Nah, kamu pun sama demikian."
Serim langsung tertegun sekaligus tercengang. "Apa?"
"Memang benar kalau aku lebih mementingkan pekerjaan, uang, harta, daripada aku memerhatikanmu. Kamu tahu kenapa aku mengabaikanmu saat kita masih berkencan?"
Serim pun ikut penasaran. "Kenapa?"
"Karena kita memang tidak pernah cocok satu sama lain. Kamu mencintaiku, tetapi aku bersikap loyal pada pekerjaanku. Kamu juga selalu mencintai uang dan pekerjaanku. Jadi, apa bedanya? Perbedaan watak kita juga berpengaruh."
"Kang Yeosang-ssi!"
Pemuda yang namanya disebut itu kembali bersiap menghabiskan porsi jajangmyeon terakhirnya. "Duduk dan makanlah seperti biasa. Anggap saja aku ini orang asing yang tidak peduli."
Rasanya melelahkan harus menghadapi mantan kekasih yang semakin menyebalkan dan memancing emosi. Tidak ada gunanya bagi Jo Serim untuk berdebat dengan Kang Yeosang. Hingga gadis itu menyadari, bahwa semangkuk jajangmyeon miliknya ternyata sudah dilahap Yeosang. Miliknya berada di tengah dan sedikit mengarah padanya, sedangkan milik Yeosang justru terpinggirkan.
"Itu semangkuk jajangmyeon milikku," ujar Serim seraya meredamkan kekesalannya. "Kamu mencuri milikku."
"Benarkah?" Yeosang pun melirik semangkuk jajangmyeon miliknya yang di pinggiran dekat dinding.
“Kalau begitu, makan saja punyaku. Semua porsi isinya sama, tidak ada yang berbeda, kecuali kamu meminta tambahan bakso kecil."
"Lebih baik kamu makan semuanya saja!" Serim ternyata masih kesal.
"Lantas, untuk apa kamu datang ke sini jika bukan untuk makan, kemudian meratapi nasib orang jomblo?" Yeosang pun malas harus menghadapi mantan kekasihnya yang selalu penggerutu. "Nanti pelayan memberiku tagihan tambahan."
"Itu lebih baik!"
"Baiklah. Kamu habiskan saja segelas kopi hitam milikku."
Serim kembali menggertakkan giginya saat Yeosang menyodorkan segelas kopi hitam miliknya, yang belum tersentuh. "Kamu suka kopi, kan?"
"Ah, sialan!"
Namun, Yeosang hanya menertawakan kekesalan Serim.
"Baiklah! Aku akan makan!" Kemudian, gadis berperawakan tinggi itu kembali duduk di bangku makan. Para pengunjung masih memerhatikannya, yang mendadak marah-marah seperti sedang terserang PMS.
"Jangan pernah kamu mengajakku mengobrol, apalagi memanggilku. Anggap saja kita hanya orang asing yang tidak pernah saling kenal sama sekali. Satu lagi, jangan pernah kamu menyatakan rindu padaku. Sungguh menggelikan harus mendengar itu." Serim memberikan peringatan seraya menunjuk wajah Yeosang dengan menggunakan sumpit kayu.
"Untuk apa pula aku merindukan mantan kekasih ini?" Yeosang hanya melirik Serim sembari mengambil beberapa helaian mi saus hitam. "Kamu terlalu percaya diri sampai kamu memberikan peringatan menggelikan itu juga."
"Pokoknya anggaplah kita ini orang asing!" gertak Serim kembali terpancing rasa kesal.
"Memang kita ini orang asing sejak dahulu, kan?" Yeosang pun memutarkan bola matanya.
"Sejak dahulu pun kamu selalu berhalusinasi, bahwa aku merindukanmu, aku mencintaimu, padahal kenyataannya cinta kita tetap palsu karena kita memang tidak pernah bisa bersatu. Kamu saja yang mengkhayal terlalu tinggi. Paham?"
Lagi-lagi Serim tercengang, merasa bahwa dirinya seperti dijatuhkan berkali-kali hingga harus terhempas dari Bumi. Benar saja, Yeosang kembali sibuk melahap makan malam yang seharusnya itu milik Serim, bukan miliknya. Mau disebut 'sengaja' pun Yeosang tidak peduli, tetapi disebut 'tidak sengaja' pun tetap tidak acuh. Sungguh, rasanya ingin sekali Serim memaki-maki Yeosang.
Namun, apalah daya dirinya memeringatkan mantan kekasih sombongnya itu untuk tidak membuka mulut untuknya. Peraturan sendiri yang tercipta, maka Serim juga harus mematuhi peraturan sendirinya. Yang hanya bisa dia lakukan ialah makan jajangmyeon semangkuk milik Yeosang. Tanpa melirik pemuda dihadapannya, hanya ikut sibuk menghabiskan satu porsi jajangmyeon.
Mau tidak mau Serim hanya bisa bersabar, melirik pengunjung lain yang tampak santai mengobrol bersama teman senasibnya.
"Aku sudah kenyang," ucap Yeosang dengan merasa bangga pada dirinya sendiri, kemudian melirik Serim yang menyeruput beberapa helaian mi saus hitam. Nyatanya, Yeosang juga tidak peduli, melainkan mengambil segelas kopi hitam di dekatnya.
Kali ini, Yeosang tidak salah mengambil, bahkan Serim tidak lagi menggerutu emosi. Menghabiskan minuman kafein itu dalam waktu sekejap tanpa berhenti. Di sisi lain, Serim tertegun, bahwa Yeosang bisa meneguk segelas kopi hitam tanpa sedikit pun ada jeda. Kini, hanya gelas kosong tanpa tersisa.
"Aku pamit pulang."
Yeosang masih tampak baik-baik saja kala beranjak dari kursi, kemudian meninggalkan Serim yang langsung menoleh kepergiannya. Gadis bersurai blonde itu memandangi punggung Yeosang yang mulai menghilang. Meninggalkan bersama teman-teman senasib, juga Jo Serim yang masih tertegun. Seperti benar-benar tidak dianggap oleh Kang Yeosang.
"Sialan," umpat Serim seraya menendang bagian kaki meja sedikit, "dia benar-benar taat peraturan seolah-olah aku dianggap orang kejam."
Dan itu membuat nafsu makan Jo Serim lenyap drastis.
***
"Kamu uruslah Jo Serim-mu itu. Sepertinya, emosinya mulai tidak stabil karena tindakanku."
Yeosang tengah menelepon seseorang seraya melewati keramaian pejalan kaki menuju pulang. Entah apa alasannya menyuruh sang penerima telepon untuk menemani Serim. Hanya Yeosang tetap tidak acuh pada mantan kekasihnya. Selagi ada seseorang yang bisa menyodorkan pundak untuknya.
“Memangnya apa yang kamu lakukan padanya?”
"Aku tidak melakukan kesalahan apapun hanya karena aku makan di restoran khusus perayaan Black Day, tetapi dia langsung menggerutu begitu aku ada di sana. Ya, aku hanya menganggapnya orang asing dan tidak pernah mengenalnya lagi. Sepasang mantan kekasih seharusnya tidak berinteraksi jika kita mengakhiri hubungan secara tidak baik-baik, kan?"
Yeosang hanya berterus terang saja, bahkan sampai merasa kepalanya mulai berdenyut.
"Lebih baik kamu jemput Jo Serim dan buat dia ceritakan alasan emosinya membuat kepalaku sakit, Park Serim," imbuhnya seraya menghampiri bangku panjang di dekatnya.
"Pantas saja kenapa aku langsung mengakhiri hubungan dengannya. Aku mencoba bersabar untuk menasihatinya agar dia tidak meluapkan emosinya, tetapi kesabaranku setipis tisu."
"Baiklah, baiklah. Cukup sudahi curahan hatimu. Nanti aku jemput dia."
"Apakah aku merepotkan salah seorang teman pria yang diam-diam menyukai mantan kekasihku ini? Kurasa kamu bisa mengatasinya lebih baik daripada aku dengan kesabaranku setipis tisu."
"Eeiii... jangan merasa bersalah. Kamu bahkan menerima hubunganku dengannya, kan?"
Yeosang mengangguk seraya berdehem. "Semoga kamu bisa menjadi tempat ternyamannya." Kemudian, ia menutup panggilan singkat itu.
"Ah, Jo Serim selalu membuat hidupnya semakin sulit." Yeosang pun memerhatikan deretan mobil melintas. "Mengapa hal sepele saja dia harus mengamuk-ngamuk? Dia pikir dia siapa?"
Kemudian, Yeosang pun hanya bisa tertawa miris. "Pantas saja dia tidak punya teman."
END.