Semenjak undangan misterius itu menghampirinya, maka yang dilakukan Jung Jinsoul hanya menuruti isi undangan itu. Merupakan undangan makan malam yang hanya dirinya yang diundang. Beruntung gadis bersurai hitam sepundak itu bisa pulang bekerja sesuai dengan jadwal, masih tersisa beberapa jam untuk merapikan semua penampilannya. Pokoknya ia harus menghadiri undangan makan malam itu dengan penampilan lebih baik daripada penampilan sebagai pegawai bank, yang harus melayani nasabah yang ingin membuka cicilan kredit.
Karena harus berpakaian serba putih, entah kebetulan saja hari ini perayaan White Day, sehingga Jinsoul memilih gaun putih yang biasa digunakan saat menghadiri pesta kecil-kecilan. Baginya, menghadiri undangan makan malam harus berpenampilan menarik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Merias wajahnya senatural mungkin, meskipun hanya tipis-tipis. Surai hitamnya sepundak dibiarkan tergerai, dengan helaian rambut bagian depan dijepit ke belakang. Tampak sempurna dengan memamerkan jidatnya.
"Apakah aku sudah cantik?" gumam Jinsoul sebelum ia meninggalkan apartemennya, kemudian memesan taksi kosong menuju restoran, sesuai dengan yang tercantum di undangan.
Sepanjang perjalan, ada rasa gugup dan cemas yang menggerakkan jemari Jinsoul seolah memainkannya untuk dapat menenangkan diri. Mendapat undangan dari seorang anonim, hanya dirinya yang diundang. Bertepatan dengan perayaan White Day, dirinya tidak pernah berpikir ada kesan romantis. Hanya pekerjaannya yang membuatnya terkesan tidak peduli akan berbau romantis.
Akan tetapi, Jung Jinsoul tidak pernah berpikir ada yang menyukainya, bahkan banyak para pria yang sudah menikah. Mustahil jika ada pria beristri yang menyukainya. Orang-orang menyebutnya 'wanita penggila kerja' karena Jinsoul benar-benar fokus pada pekerjaannya. Sudah sibuk melayani beberapa nasabah yang ingin membuka cicilan kredit. Terlalu malas untuk membahas percintaan semasa hidupnya.
Terlalu banyak merenung hingga mobil taksi yang ditumpanginya telah sampai di lokasi.
Di Restoran Aurora inilah Jung Jinsoul telah sampai, restoran yang dijanjikan melalui kartu undangan. Baru melangkah masuk ke dalam, sudah disambut seorang wanita pelayan cantik yang menuntunnya ke tempat duduk. Seperti disampaikan sosok pengirim surat anonim itu. Jinsoul hanya mengikuti arah langkah pelayan wanita itu. Para pelanggan yang datang rata-rata mengenakan pakaian formal, layaknya menghadiri acara penting.
Lagi-lagi ia memainkan jemarinya kian gugup bercampur gelisah.
"Silakan duduk, Nona," ucap pelayan wanita itu, kemudian Jinsoul duduk tanpa memerhatikan wajah si pengirim 'anonim’. Pelayan wanita itu langsung meninggalkan tempat duduk.
Pengirim 'anonim' hanya menunduk seraya memilih menu untuk dipesankan, sedangkan Jinsoul menunjukkan kartu undangan itu. Ada senyuman kecil dari sudut bibir pria iti, membuat Jinsoul curiga.
"Permisi, Tuan…."
Barulah yang dipanggilnya itu mendongak. Jinsoul merasa terkejut.
Si pengirim kartu undangan itu ialah Park Seonghwa, adik alumninya semasa kuliah.
Sosok pria yang mendapat pengakuan cinta dari Jung Jinsoul pada hari Valentine Day sejak lima tahun yang lalu. Itu bertepatan dengan kelulusan Jinsoul melalui ujian sidang akhir, berarti tinggal satu langkah lagi ia akan wisuda. Tidak hanya mendapat pengakuan cinta yang tulus, melainkan Seonghwa diberi hadiah Valentine Day berupa sebatang cokelat dan bunga Mawar merah. Seonghwa hanya menerima hadiah pemberian Jinsoul, padahal seharusnya terbalik. Ujian sidang akhir bertepatan dengan hari Valentine Day, sehingga Jinsoul yang mengirim hadiah itu.
Alih-alih Park Seonghwa yang sekadar mengucapkan, "Noona telah melakukan yang terbaik hari ini."
Sayangnya, pada hari wisuda tiba, Jinsoul tidak melihat keberadaan Seonghwa. Berpikir mungkin pria itu menghadiri mata kuliah, menjadi prioritas utama menjadi mahasiswa. Namun, Jinsoul justru belum mendapat balasan dari Seonghwa pada hari White Day. Bukan berarti gadis pemilik marga Jung itu mengharapkan balasan. Entah mengapa Seonghwa tidak membalas pemberian hadiah Jinsoul pada hari White Day.
Lebih aneh lagi ialah Seonghwa tidak berkabar apapun pada Jinsoul satu minggu setelah kelulusan ujian sidang akhir. Bisa dianggap pria itu tak menampakkan batang hidungnya selama bertahun-tahun. Hilang tanpa mengabarkan apapun itu aneh, hanya membuat Jinsoul seperti orang tidak waras. Entah mengapa Seonghwa menghilang pada saat itu, tidak ada pesan terakhir yang ditinggalkan.
"Kenapa kamu kaget?" Seonghwa menatap Jinsoul dengan tatapan tak biasanya, yang biasanya diperhatikan semasa kuliah.
"Darimana saja kamu selama ini?!" Jinsoul hampir meninggikan intonasinya.
"Kenapa kamu tiba-tiba marah-marah?" tanya Seonghwa hanya tertawa kecil, "Apakah lima tahun aku menghilang yang membuatmu marah?"
"Tentu saja!" jawab Jinsoul, masih dengan kekesalannya, "Bahkan kamu tidak membalas apapun saat White Day lima tahun yang lalu."
Seonghwa hanya terkekeh. "Maafkan aku, sayang—"
"Apa?" Jinsoul tidak salah mendengar ketika kata 'sayang' terlontar dari mulut Seonghwa. "Kita bukan sepasang kekasih."
"Ah, sepertinya aku terlalu banyak mengkhayal sehingga aku refleks memanggilmu demikian." Tawa Seonghwa yang semakin membuat Jinsoul keheranan. "Tenanglah sedikit. Biarkan aku menjelaskan."
Maka, Jinsoul hanya membuang napas dan menenangkan diri.
"Pertama-tama, maafkan aku atas hilangnya kabarku selama lima tahun, bahkan tidak melihat kecantikanmu yang berbalut kostum wisuda. Kedua, aku juga meminta maaf karena aku tidak membalas pemberian White Day lima tahun yang lalu juga. Ketiga, aku juga meminta maaf karena belum membalas pengakuan cintamu lima tahun yang lalu. Terakhir, aku meminta maaf karena menggantungkan suasana hatimu seperti ini."
Kemudian, Seonghwa menunduk penyesalan.
Jinsoul tertegun, mulai mempertanyakan hilangnya Seonghwa secara tiba-tiba. Mengapa pemuda itu, sejak lima tahun yang lalu, menghilang tanpa berkabar sekaligus menggantungkan perasaan tak terbalas. Rasanya cukup frustrasi dengan berbagai pemikiran negatif yang muncul. Mungkin Seonghwa menolak pernyataan cintanya, atau, ada sebab lain yang membuat pria lain menghilang.
Akan tetapi, yang dilakukan Seonghwa justru menyodorkan daftar menunya agar segera memesan makan malam.
"Kamu pasti lapar, noona." Tidak lupa senyuman Seonghwa yang semakin membingungkan. Namun, Jinsoul hanya menuruti saja.
Setelah memesan pesanan makan dan minum masing-masing, tidak ada yang memulai makan malam. Dengan hidangan stik sapi beserta dua gelas wine yang terisi setengah gelas, itu tidak menggerakkan keduanya untuk mengisi perut kosong. Rasanya seperti bukan dalam rangka saling berkenalan, nyatanya orang dihadapan Jinsoul ialah orang yang pernah mendapat pengakuan cinta darinya.
"Makanlah dahulu, Park Seonghwa," ucap Jinsoul langsung meraih pisau dan garpu di sisi piringnya, "Baru kita bisa bicarakan ini."
Seonghwa mengangguk paham, kemudian ikut meraih pisau dan garpu dari sisi piringnya.
Keduanya saling menikmati makan malam satu sama lain. Tanpa bersuara, juga tanpa melirik. Ditemani iringan musik genre jazz yang menyenangkan, meskipun suara para pelanggan tetap mengalahkan musik. Mereka hanya makan dengan tenang, bukan memicu keributan masalah sepele.
Dan yang tersisa kini hanya segelas wine yang belum disentuh.
"Mengapa kamu… mengundangku makan malam di tempat seperti ini?" Jinsoul meraih segelas wine miliknya dan meneguknya sedikit.
"Di restoran yang dekat dengan perusahaan tempatku bekerja. Entah ini sebuah kebetulan kamu memilih tempat ini atau kamu mengetahui tempatku bekerja, sehingga kamu mereservasi satu meja ini hanya untuk kita. Tidak mungkin kamu memilih restoran ini secara kebetulan—"
"Memang aku pernah melihatmu, kemudian sedikit mengikutimu dari kejauhan. Lantas kenapa?" Seonghwa menyela seraya bertanya balik.
"Untuk apa kamu mengikutiku?" tanya Jinsoul sedikit menekankan.
"Aku bukan penguntit yang biasanya dilakukan penggemar idola fanatik. Kebetulan saja aku tahu tempatmu bekerja saat aku kembali ke Seoul."
Jinsoul menyipit. "Apa?"
Kemudian, Seonghwa hanya tertawa. "Aku kembali dari Los Angeles untuk menyelesaikan studi baruku di sana. Lebih tepatnya aku hanya mengikuti orang tuaku saja."
Jadi, alasan Seonghwa menghilang selama lima tahun ialah melanjutkan studi baru di luar negeri. Seonghwa hanya menuruti perkataan orang tuanya. Pasti saat itu terasa berat harus menerima saran orang tuanya.
"Jadi, itulah sebabnya kamu menghilang?"
Seonghwa hanya mencengir. "Aku hanya tidak mau mengabarimu begitu saja."
"Tapi, kenapa kamu memilih untuk mengambil studi baru di sana? Bukankah berarti kamu harus mengulang?" Pertanyaan Jinsoul itu seperti sedikit memojok.
"Memang terpaksa mengulang, tetapi rasanya menyenangkan."
"Terus, kamu tidak membalas pengakuan cintaku?"
"Seharusnya aku datang untuk membalas pengakuan gantungmu. Mengobroli hal lain tentang kehidupanku, seharusnya kamu tunda sedikit saja."
"Kamu yang memulainya, Park Seonghwa." Jinsoul masih ingin menuntut pria dihadapannya itu.
"Lebih baik kamu tenang sedikit. Biarkan aku memberikan ini padamu."
Tiba-tiba, Seonghwa mengambil sesuatu dari kolong meja. Mengeluarkan sesuatu yang tidak disadari Jinsoul selama mereka ingin berdebat di malam yang tenang. Sebuah tas belanja cokelat tanpa dicantumkan nama produk. Benda itu telah ditaruh di atas meja makan, sedikit memotong pandangan antara keduanya.
Jinsoul penasaran sekaligus menerima hadiah pemberian Seonghwa. "Apa ini?"
"Balasanku yang menggantung. Hari ini merupakan White Day," balas Seonghwa hanya memerhatikan Jinsoul yang langsung mengintipi barang pemberian Seonghwa.
Jinsoul hanya bisa mengintip isinya. Berupa boneka karakter Ice Bear dari kartun We Bare Bears, itu tokoh kartun kesukaannya. Namun, hadiah yang Seonghwa serahkan bukan hanya boneka. Pemuda itu langsung mengeluarkan dan menyodorkan sekotak cincin. Perhatian Jinsoul mulai teralihkan dari tas belanja cokelat, melihat dua cincin dari kotak cincin yang diungkapkan Seonghwa.
"Ini cincin pertunangan kita." Perkataan pria bersurai hitam itu membuat Jinsoul tertegun.
"Kamu bercanda?" tanyanya.
"Kamu pikir aku menolak perasaanmu sejak Valentine Day lima tahun yang lalu?"
Pertanyaan itu memancing ingatan Jinsoul yang digali kembali. Ingatan pada hari Valentine Day sejak lima tahun yang lalu. Momen Jinsoul memberikan bunga Mawar merah dan sebatang cokelat. Pernyataan cintanya yang terdengar sangat memalukan. Seonghwa hanya menyimak setiap pengakuan Jinsoul seraya menikmati potongan cokelat. Entah bagaimana dengan nasib bunga Mawar merah yang telah dirawat Seonghwa penuh setia di ruang peristirahatan, mungkin sudah layu.
Akan tetapi, Jinsoul melupakan suatu hal. Lebih tepatnya memang gadis itu sengaja melupakan demi menutupi luka kecil. Seonghwa mengutarakan perkataannya, yang mengarah pada penolakan cinta. Bisa dianggap sebagai perkataan terakhir.
Intinya ialah ingatan Jung Jinsoul di masa itu seperti mencari sesuatu yang hilang karena sendirinya melupakan.
"Suatu saat nanti, aku akan mengenalkan gadis tercintaku pada dunia, membuktikan bahwa dialah satu-satunya yang layak dicintai olehku. Semua orang harus tahu gadis yang kucintai. Bertepatan dengan White Day, aku benar-benar akan perkenalkan gadis yang kucintai dan kusayangi. Mungkin bukan kamu yang kumaksud, atau memang bukan kamu. Yang terpenting ialah aku pun tidak memiliki perasaan khusus padamu. Jangan tersinggung."
Kenyataannya, Park Seonghwa memberikan sekotak cincin tunangan pada Jung Jinsoul, bertepatan dengan White Day hari ini. Semacam sebuah lamaran untuk melanjutkan hidup bersama-sama.
"Jangan berbohong, Park Seonghwa!" Jinsoul hampir ingin memecahkan tangisan harunya. "Itu berarti kamu menerima pengakuan cintaku!"
Seonghwa tersenyum lebar, terasa senang mendengar respons gadis dihadapannya. "Maaf karena sudah mempermainkan perasaanmu, Jung Jinsoul noona."
Namun, sudah terlanjur air mata menetes dan membasahi kedua cincin tunangan yang masih menetap di kotak cincin. Jinsoul tidak tahu bagaimana harus mengungkapkannya dihadapan dua cincin. Melirik Seonghwa sekejap, kemudian menoleh ke arah lain. Memalukan rasanya jika riasan wajahnya akan luntur oleh air mata.
"Juga, kuberikan bunga Mawar putih untukmu." Seonghwa mengeluarkan yang disebut Mawar putih dibalik saku jas di sebelah kanan. "Sebagai balasan perasaanku untukmu."
Genangan air mata dari pelupuk mata Jinsoul kembali membasahi pipinya. Merasa terharu yang sulit diungkapkan secara verbal. Hanya air mata yang mewakili perasaannya yang mudah tersentuh.
"Terima kasih sudah menerima pengakuan cintaku," ucap Jinsoul seraya menerima Mawar putih pemberian Seonghwa. Diendusnya bunga Mawar putih yang terasa menyegarkan.
"Apakah kamu tidak mau menerima balasan cintaku?" Seonghwa bertanya, kali ini dengan memerhatikan Jinsoul penuh arti. Benar-benar ingin memilikinya untuk selamanya.
"Tentu saja aku mau, dasar bodoh!" Jinsoul membalas tanpa memyadari intonasinya meninggi, membuat para pelanggan ikut bertepuk tangan.
Baik Seonghwa maupun Jinsoul, keduanya bangkit dari kursi dan sejenak meninggalkan tempat mereka. Mereka pun berbagi pelukan hangat yang telah dinanti-nantikan setelah lima tahun mereka hilang kontak. Tepuk tangan yang tidak diharapkan, memalukan rasanya harus mendengarkannya. Namun, Seonghwa tidak peduli, melainkan akhirnya ia bisa memeluk gadis yang dicintainya seraya memamerkan pada dunia.
END.