Konon, orang-orang mengatakan bahwa semakin bertambah hidup, di situlah pertemanan diuji. Beberapa orang pernah merasakan dijauhi teman karena sudah tidak satu frekuensi lagi atau alasan apapun. Tidak, teman setia tidak mungkin begitu. Mereka ikut bersusah payah bersama-sama, menghirup udara segar bersama-sama, juga dapat menyantapkan aneka nasi kucing setiap bermampir ke angkringan. Mana mungkin teman setia saling menghilang,
kecuali pulang ke kampung halaman.
Surya paham betul rasanya hampa, tanpa ada yang menemaninya dikala susah. Berjuang bersama sebelumnya, kini berpisah. Ketika ia bersama teman-temannya yang sudah lulus, disaat itulah Surya lebih memantapkan diri pulang ke kampung halaman daripada berharap ada yang kembali. Bukan karena tuntutan orang tua, melainkan memang inginnya demikian.
Namun, melihat Rani yang cemberut di depan rumah, Surya hanya bisa mengangguk pelan. Menyuguhkan segelas teh hangat, mencoba untuk meluruskan keinginan Surya untuk pulang ke kampung halaman. Akan tetapi, ekspresi Rani bertolak belakang dengan keinginan Surya. Entah apa yang membuat Rani menolak ketika Surya hendak pulang ke kampung halaman.
“Nanti gue jadi kangen sama lo,” ujar Rani, memanyunkan bibirnya dengan ekspresi terjeleknya, padahal dia tetap terlihat manis.
“Gue nanti balik lagi ke sini kok. Kenapa jadi lo yang ngatur gue?” Surya kemudian membuang napasnya dengan intonasi kecewa.
“Mana ada langsung balik ke sini. Lo mau bikin gue gila gara-gara nungguin lo balik?” Rani lantas mengetuk-ngetuk meja teras seolah ada yang aneh dari gelagatnya.
“Lo aneh deh,” ledek Surya, dengan tertawa sembari membenarkan posisi duduknya. “Teman yang setia sama lo tuh banyak. Kenapa jadi gue doang yang bikin lo ngambek?”
“Biarpun gue punya banyak teman setia, tapi gue yang paling deket sama lo.”
“Kalau lo yang dekat banget sama gue, terus gue nggak boleh pulang kampung gitu?”
“Kalo lo pulang kampung, gue jadi kesepian.”
Bukannya merespons protesan Rani, justru Surya kembali menertawakan gadis bermata bulat yang masih memandangnya kesal dan gerutu menjadi satu.
“Lo punya nomor Whatsapp gue, kan?” tanya Surya sebelum dijawab dirinya sendiri, “Ya udah, lo bisa kok japri gue kapanpun gitu, kecuali gue yang hubungi lo duluan kalau gue sibuk. Gue nggak merasa terganggu semisal gue punya banyak deadline.”
“Sama aja, Surya!” Rani lantas menepuk meja teras, diiringi dengan kesedihan yang mendadak terjadi. “Kalo lo sibuk banget, teman-teman gue juga sibuk! Yang sibuk tuh nggak cuman lo, tapi temen-temen gue juga sibuk!”
“Kekanakan banget sih? Lo bahkan nggak pernah mikir, sih, gimana rasanya lo jadi hampa karena teman-teman lo pada sibuk. Ya, pantaslah lo ngamuk-ngamuk.” Surya masih bisa bertindak santai sembari melipatkan tangannya di dada.
“Kok jadi nyalahin gue sih?!” gerutu Rani kian protes.
"Ngertilah coba. Teman setia di dunia ini cuman dikit, sedangkan orang-orang yang semula dekat banget hanya skenario tersusun."
Rani malah tertegun, mencoba untuk mencerna apa yang diungkapkan Surya. “Gue juga bakalan hampa karena nggak ada orang yang kayak lo di kampung halaman gue. Tapi, dengan gue banyakin chat ke lo, gue seenggaknya merasa lega. Kalo lo ngambek-ngambek gitu, gimana gue beraniin buat japri lo?”
“Bentar.” Rani menginteruksi agar Surya berhenti bicara. “Gue nggak paham maksud lo. Gue protes karena lo pulang ke kampung halaman, tapi lo malah nyinggungin teman setia.”
“Karena lo protes soal kepergian gue ke kampung halaman, makanya gue nyinggungin berapa banyak teman setia yang masih deket sama lo. Mau tahu kenapa gue tiba-tiba nyinggungin ini?”
Pertanyaan yang memancing Rani untuk menyimak.
“Teman setia di dunia ini cuman dikit karena merekalah yang mau susah bareng, tertawa bareng, dan nangis bareng. Tapi, orang-orang yang dekat sama kita, yang harusnya kita anggap temen dekat, ternyata hanyalah formalitas belaka. Mereka menyusun skenario rapi agar terlihat dekat di mata orang lain, tapi nyatanya mereka dekat sama kita karena butuh doang.”
Surya kemudian menoleh ke arah Rani. “Hubungannya dengan kita berdua apa? Gue bersyukur karena lo udah jadi teman setia gue disaat gue merasa kalo teman-teman yang dekat sama gue cuman buat ngambil manfaat doang. Lo doang yang masih setia deket sama gue.”
“Jadi, ada banyak untungnya gue dekat sama lo?” tanya Rani mulai berpikir positif, kemudian Surya mengangguk.
“Biarpun kita berpisah, jangan lupa buat banyakin japri sama gue. Kalo gue sibuk, gue secepatnya japri lo kok.” Pemuda bersurai hitam itu tersenyum, tetapi Rani masih enggan.
“Kalo gue boleh minta tolong sama lo…,” ujar Rani kian menyengir, “…berarti gue boleh confess ke lo?”
“Terserah. Gue cuman nyimak aja kok. Gue mengiyakan atau tidak, pun kita tetap bisa komunikasi kok,” jawab Surya, kemudian perlahan memudarkan senyumnya.
“Loh, kok lo malah biasa gitu jawabnya?!” Rani kembali ketus.
“Karena gue juga tahu kok, kalo lo dekati gue nggak cuman jadi temen deket doang, tapi lo juga naksir sama gue.” Surya kembali memutuskan pandanan dari Rani.
“Cuman confess biasa doang kok, nggak minta lebih.” Lagi-lagi ia merengut, membuat Surya sedikit merasa bersalah.
“Jangan ngambek dong. Ntar gue beneran pergi, lo nangis beneran.” Justru Surya semakin memancing Rani untuk melontarkan ujaran memaki-maki sebebasnya.
“Gue nggak akan nangis kok!” serunya. “Kalo gue nggak nangis, lo mesti teleponan sama gue selama 24 jam.”
“Oke! Gue terima tantangan lo!”
Kenyataannya, beberapa bulan kemudian, Rani hanya menyembunyikan diri dari Surya, dengan menghadap tembok rumahnya. Yang Surya respons berupa gelak tawa penuh puas, yang semakin membuat Rani kesal dan mengumpat berkali-kali. Surya merasa puas, karena Rani harus menunjukkan wajah sembabnya nan memerah. Gadis itu terus merengek, meminta Surya untuk tidak meninggalkannya.
Tas koper, kardus yang dibungkus, dan tas ransel, telah diletakkan di bagian gerobak mobil pick up. Melihat Rani yang hanya menyembunyikan wajah manisnya ke arah tembok, disaat itulah Surya hanya meledakkan tawanya. Bibirnya mengucapkan perpisahan, namun wajahnya tidak seperti itu. Rani tidak tahu bagaimana harus menghadapinya, karena akan berpisah dengan teman dekatnya.
“Tuh, kan, lo malah nangis!” Kemudian, Surya langsung tertawa. Menertawakan Rani yang terus merajuk.
“Gue nggak nangis, goblok!” Intonasinya tak bisa berbohong. Orang berbicara sambil menangis akan terdengar berbeda daripada orang berbicara seperti biasa.
“Lo bohong.” Surya masih belum bisa menaham gelak tawanya. “Nyatanya lo langsung ngumpet.”
“Gue beneran nggak nangis!” Barulah Rani menunjukkan wajah sembabnya, dengan tubuhnya yang bergemetaran. “Itu karena gue nggak tahu kalau lo bakalan minggat secepatnya.”
“Dasar cengeng!” seru Surya kembali meledakkan tawanya.
“Gue nggak cengeng!” ketus Rani, membuat Surya langsung membawanya ke pelukan hangat. Justru tangisan Rani kian pecah.
“Maaf, ya, kalo gue nggak ngabarin lo,” bisik Surya mulai menenangkan Rani, membiarkan gadis yang dipeluknya itu bisa menangis sepuasnya sebelum harus melepas rindu.
Pada akhirnya, Rani mengerti rasanya ditinggal teman terdekat. Surya juga akan merasa hampa karena tidak ada orang yang sama dengan Rani. Kenyataannya, Surya hanya bisa menyunggingkan sudut bibirnya, mencoba untuk tidak bersedih. Pemuda itu tahu, rasanya harus melepaskan temu itu menyakitkan.
Pada akhirnya, aku mengerti rasanya akan kehilanganmu. Orang yang paling dekat denganku, menganggapku sebagai teman dekat, kini kita hanya bisa berjarak jauh.
END