paint of regrets

Sigi
7 min readJul 31, 2023

--

Menghadiri pesta ulang tahun seorang seniman merupakan suatu kehormatan baginya yang profesinya bukan di bidangnya. Mayoritas tamu yang hadir berprofesi di bidang masing-masing. Model, influencer, fotografer profesional, bahkan yang berprofesi di bidang industri musik sangat sedikit. Yang diundang belum tentu bisa menghadiri, apalagi yang tidak diundang.

Kim Jiwoong—berprofesi seorang model—menghadiri pesta ulang tahun bukan karena ia diundang. Ia terpaksa menghadiri juga bukan alasan. Ketika undangan tersampaikan di tangannya, Jiwoong mengundurkan semua jadwal wawancara. Bahkan ia tak memiliki waktu untuk membeli kado ulang tahun karena waktu senggangnya nyaris tidak ada. Lagipula, banyak tamu yang datang tanpa membawa kado, tetapi mereka mengganti hadiah dengan amplop berupa uang.

Melihat pemilik nama yang berulang tahun itu, membuat Jiwoong langsung setuju untuk hadir.

Pasalnya, yang berulang tahun ialah seorang seniman bidang melukis yang pernah mengisi masa lalunya. Lebih tepatnya Jiwoong hadir untuk menemuinya. Itulah tujuan utamanya, yang berada di atas segalanya. Tidak masalah dirinya hadur tanpa membawa kado ulang tahun. Yang penting baginya adalah hadir ke pesta ulang tahun.

Jiwoong datang sendirian, dengan wajahnya ditutupi topeng setengah wajah. Bukan karena ia pemalu atau antisosial, melainkan ia menghindari sorotan kamera. Padahal banyak para tamu yang terlihat senang disoroti jurnalis yang hadir. Entah apa yang membuat Jiwoong harus menutupi setengah wajahnya. Mungkin untuk menghindari komentar warganet dengan berbagai spekulasi aneh.

Ada banyak mahakarya lukisan terpampang di ruang aula terbuka, tempat pesta ulang tahun itu digelar. Berbagai mahakarya yang telah tertuang melalui perasaan sang pelukis yang terbuka. Rata-rata hasil lukisannya menggambarkan kehidupannya sebagai manusia biasa, juga rasa sukanya terhadap sesuatu. Pantas saja mengapa banyak warga yang justru ingin membeli hasil lukisannya setelah mereka merasakan emosional melalui hasil lukisan tersebut.

Namun, ada satu lukisan memancing perhatian Kim Jiwoong. Lukisan itu berada di pojok ruang aula terbuka itu, dengan wajah seorang pria yang mirip dengannya. Meskipun lukisan itu sedikit disamarkan, namun tetap terlihat mirip dengannya. Jiwoong memerhatikan dengan detail perihal bentuk mata, hidung, bibir, telinga, bahkan guratan wajah.

Terlihat sempurna dan tampak mirip dengannya.

"Itu aku?" gumam Jiwoong bertanya, "Dia terlihat mirip denganku. Apakah memang itu aku?"

Adapun tercantum tulisan tangan yang sangat kecil. Orang-orang mungkin tidak akan menyadari isi tulisan tangan tersebut. Jiwoong menyipitkan matanya untuk membaca isi tulisan tangan yang mungil. Tulisan tersebut berupa pesan dan makna dari hasil mahakarya yang ditemuinya. Kata per kata, frasa per frasa, kalimat per kalimat, dan menjadi satu paragraf. Makna lukisan itu membuat napas Jiwoong tercekat.

Aku gadis munafik yang tak bisa melupakan wajah yang 'ku kenang seumur hidup. Bayanganmu menghantuiku 'tuk selalu mengingatmu. Aku tidak berbohong pada ciptaan Tuhan. Kamu terlalu sempurna 'tuk 'kumiliki. Gadis munafik sepertiku merasa malu pada hati mungilku.

Untukmu yang selalu bernilai positif.

Apa yang dimaknai Jiwoong adalah pujian yang menyelipkan bentuk penyesalan. Bahwa, sang pelukis menyampaikan ungkapan penyesalan karena mencampakkan sang karakter utama dari lukisan. Entah bagaimana kisah itu terjadi, tetapi Jiwoong merasa dirinya menjadi tokoh utama lukisan tersebut. Melihat dari kilas masa lalu, membuat Jiwoong sadar dirinya adalah lukisan tersebut.

"Mengapa dia yang meminta maaf?" tanya Jiwoong kembali bergumam, kemudian pemuda itu menyentuh sisi lukisan yang terbuat dari cat air. Sungguh nyata dirinya seperti lukisan.

"Apakah kamu kesepian?"

Pertanyaan itu refleks membuat Jiwoong menoleh ke arah belakang. Pandangannya bertemu dengan sang pencipta lukisan wajah yang mirip dengan dirinya. Pemuda itu tidak percaya pada pertemuannya dengan seorang gadis seniman di bidang melukis. Pada hari ulang tahunnya, mereka akhirnya bertemu.

Dialah Kim Nayun, seorang pelukis sekaligus pencipta lukisan wajah samar seseorang yang mirip Kim Jiwoong. Mereka pernah menghiasi masa lalu yang terjadi semasa sekolah, namun mereka telah berpisah setelah kelulusan sekolah. Bumbu romansa yang manis, kini telah menjadi pahit, lantaran perbedaan argumen yang mendahului ego. Di mata Jiwoong, Nayun selalu mengabaikan sisi positifnya. Namun, di mata Nayun, berbagai pemikiran 'abu-abu' Jiwoong memengaruhi suasana hatinya.

Dan pertemuan mereka kali ini menjadi reuni.

Nayun refleks memandangi setengah wajah Jiwoong yang tak tertutup topeng, kemudian beralih memandang setengah wajah lain.

"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya gadis berperawakan tinggi itu, dengan dibaluti gaun blazer panjang hitam serta bagian bawah menutupi bagian atas lutut. "Atau, beritahu aku namamu."

Kim Jiwoong menunduk, kemudian tertawa kecil.

"Aku Samuel Kim…," sapanya sambil mengulurkan tangan kanannya, kemudian ia kembali mendongak. "... dan aku Kim Jiwoong, karakter utama dari lukisanmu ini."

Giliran Nayun yang bergeming, kemudian gadis itu mengangguk paham. Dia hampir tidak mengenali wajah Jiwoong yang tertutupi topeng setengah wajah. Namun, dia merasa familiar dengan bentuk fisik Jiwoong. Seringkali Nayun menemukan beberapa majalah daring, dengan wajah Jiwoong sebagai sampul majalah. Terkadang menemukan bentuk fisiknya yang terpampang di majalah atau papan reklame di berbagai tempat.

"Lama tidak berjumpa, Michelle Kim." Jangan lupa senyum ramah Jiwoong, menjadi impresi pertama Nayun yang membuatnya jatuh cinta. Diputuskannya membalas jabatan Jiwoong seraya menjawab, "Lama tidak berjumpa juga, Samuel Kim."

Sejenak Jiwoong memerhatikan penampilan 'anggun' Nayun.

"Umurmu telah bertambah satu tahun. Bertambah satu tahun, kecantikanmu tak pernah memudar. Justru semakin cantik dan menawan. Tidak ada yang berubah darimu yang indah ini."

Jiwoong memandangi Nayun yang ia sebut 'cantik' dan 'menawan'. Gadis itu tersenyum tipis, menerima pujian pemuda berperawakan tinggi itu. Gambaran elok saat pertama kali mereka bertemu. Nayun teringat pujian itu sebelumnya. Dan ternyata impresi pertama Jiwoong tidak berubah.

Tidak lama kemudian, pemilik nama panggung Samuel Kim itu melepaskan topeng setengah wajah. Memancarkan ketampanan yang selalu dikenang Nayun. Memang benar apa isi tulisan tangan Nayun. Tuhan telah menciptakan manusia sempurna seperti Kim Jiwoong.

Itu bukan munafik.

Akan tetapi, itu pujian sekaligus seni dalam mengekspresikan penyesalan setelah hubungan kandas. Selama mereka berpisah, Nayun selalu teringat bayangan Jiwoong dari kejauhan. Mereka sudah tujuh tahun berpisah tanpa tali sambung komunikasi. Nyatanya Nayun tidak bisa menolak rayuan dan pujian Jiwoong, membentuk ungkapan cinta yang mendalam.

"Jadi, mahakarya indahmu ini terinspirasi karenaku?" Jiwoong kembali memerhatikan hasil lukisan Nayun, yang menampilkan wajah samarnya. "Meskipun kamu membuat lukisan wajah terlihat samar, aku bisa tahu detailnya. Persis sepertiku."

Kemudian, Nayun berjalan dan berdiri di samping Jiwoong.

"Aku memang mendedikasikan lukisan ini untukmu," balas Nayun dengan tenang.

"Apa?" Jiwoong terperangah.

"Aku menciptakan lukisan ini untukmu saat aku harus membayangkan dirimu."

Maka, Kim Jiwoong membiarkan Nayun bercerita, tentang rasa penyesalan yang datang terakhir.

"Aku tahu keberadaanmu akhir-akhir ini. Kamu terlihat baik-baik saja setelah aku mencampakkanmu. Meskipun kamu berwatak keras kepala, aku kesulitan melupakan segala sisi positif tentangmu. Ketampananmu, kebaikanmu, dan kenangan indahmu, bagaimana aku bisa melupakan semuanya?"

Nayun pun menunduk. "Munafik rasanya kalau aku bisa menemukan yang lebih baik darimu, tetapi kenyataannya posisimu sulit tergantikan. Bagaimana pun aku berusaha, eksistensimu tetap terasa saat aku berada di titik terendah."

Perlahan-lahan, Kim Jiwoong melirik Nayun yang tengah menunduk. Dapat mengerti perasaannya yang membohongi hati mungilnya. Nayun selalu menciptakan mahakaryanya, membuat pengunjung turut merasakannya. Namun, sensasi dan suasana hati akan berbeda ketika Nayun menciptakan lukisan wajah Jiwoong secara samar-samar.

Mengapa dipoles dengan samar-samar?

"Wajahmu disamarkan agar aku bisa melupakanmu. Kenyataannya, itu sulit." Kemudian, gadis yang sepantaran dengan Jiwoong itu tertawa miris.

"Beginikah ekspresimu untuk melupakanku?" Jiwoong kembali memerhatikan hasil mahakarya lukisan Nayun. "Kamu mengabaikan dirimu yang butuh dicintai olehmu. Kamu mencintaiku, padahal kamu harus mencintai dirimu. Itulah kesulitanmu."

Nayun terkejut atas respons Jiwoong. "Kenapa… kamu bisa mengatakan begitu?" tanyanya.

"Sebelum kamu mencintaiku, kamu harus mencintaimu juga. Kalau kamu mencintaiku sebelum kamu mencintai dirimu, maka melupakanku terasa sulit. Seolah-olah aku menggantikan ragamu yang rapuh, kamu terlihat membenci dirimu sendiri. Justru akan terasa sakit dan sulit memudarkan rasa sakit itu."

Entah bagaimana sebuah pemikiran itu muncul. Tampaknya Jiwoong sudah berdamai dengan diri sendiri. Perkataan berupa nasihat Jiwoong beserta pemikirannya yang… Nayun tidak tahu bagaimana untuk mendeskripsikannya. Ini terasa seperti Nayun harus membenci Jiwoong untuk mencintai diri sendiri.

Bersama dengan pemikiran itu, Jiwoong mendadak melepaskan syal merah polos yang meliliti lehernya. Jiwoong memaksakan Nayun untuk berhadapan dengannya, bahkan jika tanpa kontak mata pun tak masalah. Pemuda itu mengenakan syal merah miliknya, melilitkannya pada leher Nayun. Terlihat cantik dengan syal merah polos di mata pemilik nama panggung Samuel Kim.

Barulah Nayun mendongak, membuat kontak mata dengan Jiwoong. Cukup dekat dan intens. Ada sesuatu yang mengalir sampai di ulu hati. Ditambah senyuman tipis Jiwoong yang menenangkan. Senyuman yang selama ini dirindukan.

"Datanglah ke mimpiku jika kamu merindukanku. Denganmu datang ke mimpiku, aku senantiasa mengingatmu dalam jangka panjang. Bahkan jika kamu menemukan penggantiku, kamu bisa melupakanku tanpa merasakan sakit lagi."

Diakhiri dengan usapan pelan ujung rambut hitam Nayun. "Jangan lupa sayangi dirimu sebelum sayangi orang lain. Aku juga demikian."

Usapan rambut tidaklah cukup. Nayun merasakan buliran air mata menggenang saat Jiwoong memberikan kecupan hangat di keningnya. Lebih lama dan terasa hangat, akan menjadi rasa sakit yang sukar disembuhkan. Ketika pandangan keduanya kembali bertemu, barulah Nayun meloloskan air matanya.

Hanya sementara saja.

Jiwoong pun kembali memerhatikan syal merah yang melilit di leher Nayun.

"Hadiah ulang tahunmu…," ungkapnya, padahal Jiwoong tidak memiliki banyak waktu membeli kado. "... syal merah ini kado ulang tahunmu dariku. Sengaja aku tidak memakainya sejak aku membelinya. Akan lebih pantas ini dijadikan sebagai kado ulang tahunmu."

Jiwoong melebarkan senyuman. "Cantik."

"Berhentilah memujiku, dasar payah!" ketus Nayun hampir memecahkan tangisannya, tetapi Jiwoong malah tertawa kecil. "Aku sudah berdandan sangat cantik di hari spesial ini. Jangan sampai air mata melunturkan riasan wajahku karenamu."

Jiwoong terdengar puas dengan sikap jengkel Nayun. "Kamu masih terlihat cantik, bahkan jika riasan wajahmu luntur."

"Lebih baik kamu pergi saja sebelum aku harus melayangkan jitakan di kepalamu."

"Ini kedengaran mengusir, tetapi dijitak gadis cantik sepertimu tidak akan mempan." Jiwoong langsung memelet dengan intonasi mengejek.

Tidak lama kemudian, pemuda itu menepuk kedua pundak Nayun dengan lembut. Benar-benar akan berpisah. "Aku akan pergi, Kim Nayun-ssi."

Jiwoong pun benar-benar meninggalkan Nayun, hanya untuk menyantap kudapan mewah. Pertanda Nayun harus menyambut kehadiran tamu yang lain, sedangkan Jiwoong hanya menikmati waktu tersendiri dengan mengambil berbagai kudapan yang lezat. Tampak menikmati dirinya sendiri seraya mengobrol dengan para tamu di dekatnya.

Di sisi lain, Nayun menyadari dirinya harus mencintai diri sendiri sebelum mencintai Jiwoong. Memerhatikan betapa santainya dia saat berbincang-bincang dengan tamu. Syal merah yang melilit di leher Nayun hanya satu-satunya yang menyisakan kehangatan, ditambah lagi Jiwoong telah mengenakannya sebelum menghadiahkan padanya.

Lantas, bagaimana mungkin Nayun belajar dan berdamai dengan diri sendiri jika semua kehangatan dan kebaikan Jiwoong masih membekas padanya?

END.

--

--

Sigi
Sigi

No responses yet