Setapak Demi Setapak

Sigi
8 min readNov 5, 2021

--

Jalanan di perkotaan perlahan-lahan ramai, dengan para pekerja yang akan pulang ke rumah. Ada yang melipir ke warung makan untuk mengisi perut keroncongan, juga ada yang langsung pulang saja tanpa memikirkan rencana. Tubuh letih mulai menyerang saat pulang bekerja. Yang melelahkan lagi ialah bekerja lembur karena deadline dadakan, bahkan belum sempat makan malam untuk mengisi kembali tenaga sampai sebelum tengah malam. Setiap mereka telah bekerja keras, bibir tak pernah lupa mengucapkan syukur dan pujian pada diri sendiri.

Menjelang pukul sebelas malam, hanya Juani Heri yang memilih kerja lembur. Mungkin bagi orang lain, wajarlah laki-laki sering pulang malam karena mereka memang laki-laki. Namun Juani memilih bekerja lembur bukan karena dirinya laki-laki, tetapi harus segera menuntaskan kerjaannya. Saat datang pagi-pagi, Juani menemui bosnya — yang datang lebih pagi lagi — untuk menyerahkan surat cuti selama tiga hari. Agar cutinya terpenuhi, Juani terpaksa menuntaskan semua kerjaannya agar tidak ada karyawan lain yang bisa menyentuh kerjaannya.

Bukan bosnya yang memaksa, melainkan Juani sendiri yang memaksakan diri.

Juani memiliki rencana tersendiri dengan menyerahkan surat cuti selama tiga hari itu. Ia tak ingin karyawan lain mengetahui alasannya cuti tiga hari. Tentu saja karena hal penting yang hanya Juani yang lakukan. Bukan berarti ia tertutup pada karyawan lain. Orang-orang karyawan dekat pada Juani, bahkan memberi perhatian lebih dengan senyum ramah. Mereka pun tidak perlu ikut campur urusan pribadi karyawan lain, termasuk cuti tiga hari Juani.

Semenjak esoknya mulai menjalankan cuti hari pertama, Juani mengambil perjalanan cukup panjang dari terminal bus hingga terminal bus kota tujuan. Juani memandangi gedung-gedung tinggi sebelum pemandangan berganti dengan bangunan toko yang terlihat kurang baik. Melihat sekitarnya yang sangat sepi, hanya Juani dan para orang tua yang duduk di bangku bus. Namun sendirian seperti ini pun, apa yang akan Juani lakukan?

Hanya memesan air mineral yang ditawarkan pedagang asongan, kemudian membaca buku tentsng refleksi diri, dan kembali memandangi lahan persawahan. Juani menguap, ingin sekali tidur, tetapi mana mungkin membiarkan tasnya digeletakkan di sampingnya. Orang jahat mana yang pernah menyadari kejahatan mereka. Itulah prinsip hidup Juani ketika bertemu dengan penjahat.

Memeluk tas ranselnya tanpa tidur di saat semua penumpang sedang tidur.

Hingga Juani telah sampai di terminal bus kota tujuan. Bukannya memesan taksi atau menunggu ojek online, Juani hanya berjalan kaki menuju tempat yang ia rindukan. Ialah rumahnya yang sudah lama tak kunjung. Langkah kaki terus berjalan tanpa mengeluh, sesekali menaiki becak yang sudah lama tak dinaiki juga sebagai tempat peristirahatan sejenaknya. Lalu melangkah kaki lagi setapak demi setapak.

Melipir ke hotel untuk memesan dan menginap tiga hari dua malam untuk beristirahat. Hotel hanya menjadi tempat tinggal sementara. Bukan karena tidak betah harus di rumah saja, melainkan Juani hanya tidak ingin bertemu dengan anggota keluarganya saja. Perkara serius yang tidak ingin disangkut-pautin, yang akan membuat Juani bergelut dengan masa depan.

Sungguh, apa yang sebenarnya ia lakukan di kota tetangga?

“Kok nginep di hotel? Udah nggak sayang lagi sama rumah, ya?”

Untuk pertama kalinya Ibu tiri menanyakan hal ini pada Juani, seolah-olah ia tidak rindu. Terlebih lagi kakak perempuannya, Rohayati, malah meledeknya ketika Juani berkunjung ke rumah aslinya malam-malam. Yang ditanya hanya tersenyum, menampilkan lesung pipi dalamnya.

“Cuman mau liat Mbak Roha untuk terakhir kalinya aja sebelum dia besok nikah.” Juani selalu menyebut-nyebut kata ‘nikah’ jika Rohayati ada di depan.

“Lho, kok cuman liat Roha aja? Ibu nggak dikangenin nih?” Ibu malah protes, membuat Roha menahan cengirannya saat mengiris cabai rawit.

“Kalo Ibu, kan, udah hampir tiap hari kita video call-an.” Juani hanya ikut mencengir kian malu-malu.

“Biarpun cuman video call-an, itu nggak akan bikin kangen Ibu terobati,” celetuk Rohayati masih dengan fokus cabai rawitnya.

“Ibu yang ngajak kok, bukan saya.” Juani hanya memeletkan lidahnya.

“Iya, Ibu itu pingin banget ketemu langsung sama putra semata wayang Ibu, walaupun Ibu sering ngajak video call-an.”

Cengiran malu Juani perlahan memudar. Memang benar adanya. Bertemu langsung setelah beberapa tahun tak berjua rasanya selalu khawatir. Wajar Ibu mengkhawatirkan Juani yang tetap merantau di kota sebelah hanya untuk bekerja. Juani pantang menyerah harus mendapat uang yang banyak. Dengan alasan ingin menjaga dan hidup bahagia dan bersama Ibu.

“Juani masih suka nyari duit kok, Bu,” balas pemuda berlesung pipi itu sedikit menunduk, “Kalo Juani udah ngumpulin banyak uang, kita beli satu unit rumah yang bagus untuk kita berdua, Bu.”

“Lho, kamu nggak kepikiran buat nikah gitu?” tanya Ibu malah kembali protes, “Mbakmu tuh mau nikah besok. Masa kamu nggak nyari pacar?”

“Namanya juga putra semata wayang, Bu,” Rohayati kembali celetuk, “Maunya jagain Ibu sampe udah waktunya Juani dapat jodoh.”

“Mau sampe kapan? Kalo dia udah berkepala tiga, ada banyak tetangga yang nggak suka dengan cara pola pikir Juani. Kamu, pun, udah umur 31 tahun aja baru bisa nikah besok.”

“Kalo memang belum dapet jodoh, masa Ibu memaksakan?”

“Ya, kan, dia sambil kerja juga. Kenapa nggak sekalian deketin karyawan perempuan satu per satu?”

“Ibu pikir gampang buat bikin hati para wanita terbuka padanya? Yang Ibu inginkan hanya segera mengosongkan rumah ini kan? Makanya Ibu selalu mendesakkan saya dan Juani buat nikah.”

“Lho, kok kamu malah mikir kayak gini, Roha?”

Juani sebenarnya berkunjung ke rumahnya hanya untuk memastikan jika Ibu dan Roha baik-baik saja. Semenjak mereka ditinggal Ayah untuk selamanya, Ibulah yang menjadi kepala keluarganya. Semenjak Juani dan Roha sudah memiliki kehidupan masing-masing, dengan karir dan jabatan yang masih berjalan, Rohalah yang berpikir Ibu sudah tidak menyayangi anak-anaknya. Teringat betul bagaimana Ibu malah meminta tolong pada besannya untuk segera mencari jodoh buat Juani, bahkan langsung menentukan tanggal lamaran dan pernikahan.

Pantas kenapa Roha selalu berdebat pada Ibu akhir-akhir ini. Setiap kali mengadakan panggilan video keluarga, Ibu dan Roha selalu memperdebatkan jodoh Juani yang belum bertemu. Seperti tetangga melontarkan cibiran pada sesama tetangga, seperti mereka adalah Tuhan. Juani hanya bisa meninggalkan panggilan video grup dengan alasan banyak deadline yang dikejar.

Perdebatan perihal jodoh kelak Juani masih belum usai.

“Saya ingin mengatakan ini pada kalian.”

Juani akhirnya membuka suara hingga Roha dan ibu mereka berhenti berdebat.

“Saya belum mendapat jodoh bukan perkara tidak ada yang mencintai saya sepenuh hati, melainkan saya percaya bahwa Tuhan sudah mengatur dan mendekatkan wanita untuk saya. Di satu sisi, di saat saya harus mengejar banyak kerjaan, saya juga masih berusaha mendekat pada wanita yang sudah saya simpan dalam hati, kemudian selalu berdoa kepada Tuhan agar saya dan dia saling berjodoh. Saya juga ingin menikah dengannya sesegera mungkin, tetapi waktu masih memberikan saya banyak kesempatan dan kerugian yang akan saya hadapi. Waktulah yang memberiku banyak hal dan saya juga bisa menyiapkan apa yang akan menjadi kerugian ketika saya akan menjadi kepala keluarga. Persiapan dalam menikah tidak semudah perkataan orang lain yang selalu berkhayal. Jadi, untuk apa buru-buru menikah jika belum memahami lebih dalam perihal kejadian buruk, risiko, dan persiapan yang matang?”

Setiap kali Juani akhirnya mencurahkan segala perasaan dan unek-uneknya, Ibu dan Roha tertegun. Mereka hanya memandangi putra tiri yang kini sudah bijak dan menentukan jalan yang terbaik baginya. Juani memang bisa dikatakan putra tiri yang menyimpan jutaan kesabaran.

“Saya pamit kembali ke hotel. Titip salam buat Om Dede.”

Tidak lama kemudian, Juani langsung meninggalkan rumah. Melihat dari wajah tampannya, orang-orang berpikir bahwa ia sedang tidak sedih. Namun orang lain belum bisa merasakan bagaimana menjadi seorang Juani, yang selalu diperdebatkan hanya perihal jodoh kelak. Bukan berarti Juani tidak akan laku-laku, mungkin itu bahasa kasarnya, hanya saja pemuda bersurai hitam itu belum menemukan yang lebih baik. Sekaligus Juani tidak ingin berakhir seperti Rohayati, yang ternyata pernikahan esok merupakan pernikahan keduanya bersama calon suami baru.

Pantas saja mengapa Rohayati begitu keras menentang setiap argumen Ibu yang ditujukan pada Juani.

Dek Juani, Mbak nggak ingin melihatmu akan seperti Mbak. Pelan-pelan saja kamu menemukan pujaan hatimu dan jangan sampai rumah tangga kalian kacau. Mbak nggak mau melihatmu patah hati lagi karena diceraikan calon istrimu kelak. Jangan seperti Mbak pokoknya.

Setiap Rohayati mengatakan demikian, Juani hanya bisa menahan tangisnya. Seorang laki-laki tidak boleh menangis, tetapi air mata tak bisa dibendung. Acap kali nasihat Rohayati terngiang-ngiang dalam tidur Juani seolah-olah ramuan itu menjadi permanen. Rohayati baginya seperti kakak kandung, padahal mereka juga tak ada hubungan darah daging. Mereka hanyalah saudara tiri yang melekat seperti saudara kandung.

Setapak demi setapak, Juani akan terus camkan setiap nasihat Rohayati, meskipun masih belum terpikirkan untuk membuka hati pada wanita.

Gue yakin nggak akan pernah bernasib sama seperti Mbak Roha, tetapi apakah gue bisa?

Melihat Rohayati dan suami barunya menyematkan cincin pernikahan satu sama lain, tepuk tangan mewakili perasaan. Juani ikut bertepuk tangan sembari tersenyum bangga, dengan lesung pipinya yang menonjol. Rohayati dan suami barunya memamerkan cincin pernikahan yang tersemat di jari manis mereka. Senyum hari Rohayati membuat perlahan perasaan Juani kian terpukul berat. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dari keluarga tirinya, Juani untuk terakhir kalinya melihat kakak perempuan tirinya telah menikah lagi dengan pria tercintanya.

Setapak demi setapak, pasangan pengantin baru itu akan meninggalkan lokasi pernikahan setelah membiarkan para tamu menyantapkan hidangan makan besar. Kecuali Juani yang terus memandangi Rohayati penuh luka. Juani tak pernah menyangka, nama Rohayati sebagai kakak perempuan tirinya akan dihapuskan dari kartu keluarga. Wanita itu telah menikahi suami barunya. Beberapa waktu kemudian namanya akan terhapuskan karena pindah rumah dan tinggal bersama suami barunya.

“Mbak,” panggil Juani sesaat Rohayati menghampirinya untuk terakhir kalinya, “Jaga diri baik-baik bersama suami Mbak dan jangan lupa banyakin komunikasi sama kami.”

Rohayati hanya bisa mengangguk singkat, paham bahwa Juani merasa kesulitan harus berbicara panjang-lebar.

“Tolong lindungi Ibu. Mbak nggak bisa berbuat banyak lagi untuk membelamu karena kita sudah tidak serumah lagi.” Rohayati kemudian menangis, membuat Juani justru menutupinya dengan senyuman.

“Kalo mau ke rumah, bawain keripik pisang ya.” Juani masih bisa tertawa, padahal semalam ia menangis.

“Dasar tukang ngemil mulu!” Rohayati langsung memukul sebelah lengan Juan, sedangkan sebelah lengannya lagi disikut Ibu.

“Kalo mau mampir ke rumah, cepat kabarin Ibu ya,” pesan beliau, kemudian Rohayati langsung mengangguk pelan sebelum ia dan suami barunya akan menaiki mobil pengantin.

Semua tamu, keluarga besar Juani dan Rohayati, dan keluarga besar mempelai pria melambaikan tangan mereka sebagai perpisahan untuk menempuh hidup yang bahagia. Terharu sekaligus tangisan bercampur menjadi satu. Itulah yang Ibu rasakan dan Juani lirik dari samping sebelum kembali beralih ke arah mobil sedan putih yang dihiasi sebuket bunga besar di atas atap mobil.

Setelah semua tamu telah dibubarkan, hanya Juani yang melangkah kecil seraya memerhatikan setiap selotip hitam berlambangkan X. Pertanda bahwa Juani harus mengikuti lambang itu hingga sampai ke atas panggung. Juani hanya bisa mengikuti setiap lambang X itu, yang sebelumnya pernah diberi sinyal oleh Rohayati sebelum pernikahan berlangsung.

Sampai Juani menemukan sepucuk surat yang terjatuh di dekat meja altar saat kakinya menaiki panggung pelaminan. Pemuda itu meraih surat yang terjatuh itu, membukanya pelan untuk mengetahui isinya. Juani menggigit bibir bawahnya, mencoba untuk tak lagi meneteskan air matanya setelah membaca isi surat itu. Namun air mata hanya menetesi kertas usang itu, kemudian melirik ibunya yang masih mengobrol asyik bersama besannya. Jangan sampai beliau mengetahui mata bengkak Juani.

Dek Juani, adik tiriku yang tercinta,
semoga kelak kamu akan menemukan tulang rusuk yang dapat membangkit cengengmu. Maafkan Mbak yang nggak bisa melindungimu, bahkan membiarkanmu harus melindungi Mbak sebagai saudara tiri. Mbak ingin menyampaikan ini hanya untukmu, Juani.

Jikalau Mbak pergi tanpa meninggalkan pamit, itu berarti Mbak mungkin nggak akan bertemu dengan kalian lagi. Mbak akan menempuh hidup yang baru sebagai istri yang senantiasa patuh pada nasihat-nasihat orang tua. Jadi, maafkan Mbak yang mungkin akan membuatmu menunggu dan ingin bertemu secara empat mata.

Mbak akan pergi sejauh mungkin.
Tolong titip salam buat Ibu. Mbak khawatir, Ibu akan syok mendengar dan mengetahui ini. Jagalah ibumu baik-baik, meskipun kamu harus bekerja di luar kota.

Sekali lagi maafkan Mbak, Juani.

Salam hangat,
Rohayati.

“Mbak Roha tega banget!” Juani meremat sepucuk surat hingga ia bebas bisa menangis dan membasahi pipinya. “Kalo kayak gini, gue jadi benci banget sama Mbak.”

Jadi, apa sebenarnya yang tersirat dari isi surat Rohayati?

Sebuah perpisahan yang panjang untuk selamanya?

END

--

--

Sigi
Sigi

No responses yet