“Mau pulang bersamaku?”
Sebuah pertanyaan berupa ajakan mengurung niat Park Hayuchan kala ia mengenakan tas punggungnya. Murid laki-laki berkacamata lensa bulat bingkai tipis itu melempar pandangan ke arah sumber suara dari dekatnya. Yang mengajaknya pulang sekolah itu mengembangkan senyum manis, dengan kedua jarinya terus memegang tali tasnya.
Lee Hyunseo, seorang murid baru yang tempat duduknya bersebelahan dengan Hayuchan. Kehadirannya membuat para murid laki-laki terpesona, kecuali Hayuchan yang tampaknya tidak tertarik. Lirikannya tak pernah mengarah sedikit pun pada gadis belia berambut hitam itu. Bahkan ke arah mana tempat duduknya kini pun tak diperhatikan.
Bukan karena tidak terpesona oleh kecantikan murid baru itu, anggaplah tidak seperti para murid laki-lain lainnya.
Untuk pertama kalinya Hayuchan bertemu dengan Hyunseo, secara empat mata.
Memang benar bisikan para murid laki-laki, gadis dihadapannya sangat cantik. Namun, Hayuchan hanya tersenyum mungil, bukan karena Hyunseo cantik, melainkan ajakannya. Lantaran, untuk pertama kalinya murid laki-laki itu diajak pulang bersama.
“Kita pernah kenal sebelumnya?” Hayuchan memiliki maksud dengan melontarkan pertanyaan tersebut. Seperti mereka pernah berpapasan sebelumnya, atau, Hayuchan sudah sering menemukan paras cantik yang semirip Hyunseo.
“Kita tetanggaan!”
Ah, Hayuchan tidak pernah tahu menjadi tetangga Hyunseo. “Aku sering sekali pergi dan pulang sekolah lewat rumahmu. Mungkin kamu tidak tahu aku,” jelas gadis belia berperawakan cukup tinggi itu.
Tertawa canggung sebagai balasan dari Hayuchan, lantas hanya mengangguk pelan. “Pantas saja kamu mengajakku pulang bersama,” gumamnya diam-diam melirik.
“Bolehkah kita pulang bersama?” Sekali lagi, Hyunseo bertanya kian mengajak, “Berhubung alamat rumah kita searah, akan lebih baik kita pulang bersama. Justru lebih menggembirakan lagi jika kita berangkat bersama. Apakah kamu tidak keberatan?”
“Tidak!” Hayuchan menggeleng kuat. “Tentu saja… aku akan mengantarkanmu pulang.”
Murid laki-laki berkacamata itu menerima tawaran gadis belia di hadapannya.
“Bagaimana kalau kita berangkat ke sekolah bersama?” Hyunseo menawarkan opsi tambahan, sebagai tetangga Hayuchan. “Aku tidak peduli jam berapa kamu akan berangkat—”
“Aku juga setuju,” potong Hayuchan turut mengembangkan senyumnya.
“Hore!” teriakan Hyunseo yang kegirangan itu mengagetkan Hayuchan. Betapa gembiranya gadis belia berambut hitam lurus itu, karena akhirnya dia memiliki teman baru.
Girangnya Hyunseo perlahan memancing sudut bibir Hayuchan, membentuk senyum lebar yang jarang ditemui para murid. Biasanya, murid laki-laki itu pelit tersenyum, bahkan hanya tersenyum biasa tanpa unjuk gigi. Untuk pertama kalinya murid laki-laki itu tersenyum lebar, meskipun refleks semata.
Kehadiran Lee Hyunseo turut memancarkan senyum lebar Park Hayuchan yang jarang terjadi. Sebuah momen langka dalam hidupnya. Karena sifat periang sosok Hyunseo serta paras cantiknya yang ditaksir banyak murid laki-laki, senyum pelit Hayuchan pada awalnya kian runtuh. Momen langka yang terjadi dalam sedetik.
Dan seharusnya momen langka itu akan menjadi momen membekas dalam hidup Park Hayuchan.
***
Sejak kehadiran murid perempuan manis itu, Park Hayuchan bersyukur. Mengantarkannya pulang ke rumah, lalu menjemputnya untuk berangkat ke sekolah esoknya. Bahkan mereka sudah saling bertukar kontak untuk menjalin komunikasi sebagai teman sekolah dan tetangga.
Besok kita akan berangkat pukul enam pagi. Bersiaplah sebelum aku meninggalkanmu sendirian.
Seperti itulah contoh Hayuchan mengabari Hyunseo sebelum mereka menjelajahi mimpi di pulau kapuk. Mendapat pesan singkat darinya membuat senyuman Hyunseo kembali mengembang. Biasanya saja ia sudah mandiri sejak lama, namun Hayuchan adalah orang pertama yang akan mengabarinya untuk berangkat ke sekolah bersama. Terasa seperti mereka sudah sangat dekat.
Gadis belia bernama Lee Hyunseo akan mengikuti kemanapun Hayuchan berada. Bukan hanya berangkat dan pulang, tetapi juga mengikuti keberadaan remaja laki-laki itu. Tanpa peduli apa dan mengapa dia menghampiri suatu tempat, Hyunseo tetap mengikutinya. Niat gadis belia itu hanya pulang bersamanya.
“Ban sepedaku bocor.”
Pernah suatu kejadian mereka terpaksa izin tidak masuk sekolah, dengan menggunakan alasan yang berbohong. Jika Hayuchan memilih tidak masuk sekolah, Hyunseo pun ikut saja. Mereka menghabiskan setengah hari berada di tempat tambal ban sampai ban sepeda Hayuchan telah ditambal dan diperbaiki.
Akan tetapi, walaupun ban sepeda sudah ditambal dan diganti dengan yang baru, Hayuchan menimbang kembali. Tidak mungkin ia dan Hyunseo kembali ke sekolah, apalagi kembali ke rumah mereka masing-masing. Biarpun orang tua mereka juga pergi mencari nafkah, tetapi rumah mereka sudah dikunci.
“Aku lapar. Bagaimana kalau kita bermampir ke minimarket dekat dari sini?”
Terpaksa tidak masuk sekolah membuat Hayuchan kehilangan ide untuk mengisi kekosongan. Meskipun Hyunseo juga ikut membolos, anggaplah mereka sama-sama bingung dalam mengisi waktu luang. Mau tak mau, mereka hanya mengidam air mineral botol dan ramyun kemasan gelas.
“Untuk pertama kalinya kamu terpaksa membolos karenaku.” Hayuchan terkekeh, seolah menjadi pelaku penghasutan. Menghasut Hyunseo untuk bolos sekolah.
“Kalau kamu terpaksa tidak masuk sekolah, aku juga mengikutimu,” ujar gadis belia ikut terkekeh. “Bukan berarti kamu menghasutku untuk bolos sekolah.”
“Tapi kamu sudah menjadi murid baru selama satu bulan.”
“Itu benar. Lalu?”
“Kamu berangkat sekolah, juga pulang sekolah bersamaku. Alih-alih kamu harus berangkat sendirian, kamu justru ikut bolos bersamaku.”
Mendengar penuturan dari anak laki-laki berkacamata itu, Hyunseo hanya menyembunyikan senyum malunya. “Aku sudah pernah bilang tetap mengikutimu kemanapun langkahmu.”
“Ya, aku tahu dan aku mengerti, tetapi sekolah tetap prioritas utamamu, Hyunseo-ya.”
Gadis belia pemilik marga Lee itu mengangguk, antara paham dengan balasan Hayuchan atau ada maksud lain.
“Setidaknya kamu dan aku tidak saling kesepian karena kamu tampak tertutup dan tidak dekat pada siapapun. Kalau aku terus mengikuti arahmu, setidaknya kita tidak selalu merasa kesepian. Lagipula, bolos sekolah hanya satu hari bukanlah masalah besar. Aku masih bisa belajar mandiri.”
Apakah Park Hayuchan tidak merasa ada yang aneh dibalik penuturan Lee Hyunseo? Penjelasannya memang ada benarnya, bahwa Hayuchan penyendiri dan tertutup. Andaikan tidak ada Hyunseo, maka Hayuchan selamanya akan menyendiri dan merasa kesepian. Lantas, kehidupannya terlihat membosankan.
“Aku tersentuh dengan kebaikanmu, Hyunseo-ya,” balas Hayuchan ikut mengembangkan senyumnya.
Apakah Lee Hyunseo masih bisa mengikuti arah keberadaan Park Hayuchan, bahkan jika itu merugikannya?
***
Sudah empat bulan rutinitas itu dilakukan. Bukankah semasa itu tidak ada yang menyadari kejanggalan? Misalnya, Hyunseo diam-diam menyandarkan dahinya pada punggung Hayuchan kala anak remaja laki-laki itu mengayuhkan kedua pedal sepeda. Namun, murid laki-laki berkacamata itu tak menyadari dibaliknya. Netranya hanya terfokus mengayuh pedal sepeda, membiarkan gadis belia di belakangnya itu melakukan gerak-geriknya yang tak diketahui olehnya.
Hingga suatu ketika saat melintasi gang perumahan, Hayuchan dapat merasakan kedua tangan Hyunseo melingkari perutnya. Tak biasanya gadis belia bermata lebar itu melakukan gerak-gerik itu. Hayuchan mulai berpikir, apa yang ada di benak Hyunseo saat ini. Alih-alih mencoba fokus, maka murid laki-laki itu menarik rem sepeda dengan pelan hingga berhenti perlahan.
“Kamu baik-baik saja?”
Tampak Hayuchan terlihat khawatir, sebab Hyunseo terlihat meminta sesuatu. Sejenak mereka menepi di pinggir, menyandarkan sepeda di tembok dinding pagar tetangga di atas pejalan kaki. Hyunseo hanya diam saat Hayuchan menyandarkan sepeda miliknya. Tak ada reaksi apapun dari gadis belia itu.
Diperhatikan pula wajah Hyunseo yang terlihat sehat itu.
“Apakah ada yang ingin kamu butuhkan?” Hayuchan menggenggam kedua lengan Hyunseo, masih dengan menyoroti kekhawatiran yang jelas. “Apakah kamu sakit?”
Namun, yang dibalas Hyunseo hanya senyuman.
“Rasanya aneh setiap kali aku berboncengan denganmu…,” ujar gadis berambut hitam lurus panjang sedada itu. “... karena ada yang tidak beres denganku.”
Sorot khawatir Hayuchan perlahan berganti dengan tanda tanya.
“Selama kita menjadi tetangga, selama kita berangkat dan pulang sekolah bersama, mengapa aku merasakan hal yang janggal? Misalnya, ada yang mendebarkan hingga aku tersenyum. Apakah kamu tidak merasa asing sepertiku juga?”
Hayuchan berpikir sejenak.
“Aku tidak menyuruhmu untuk berpikir lebih keras, Yuchan-ah,” tawa Hyunseo, “Kamu hanya perlu mendengarkanku saja.”
“Aku hanya fokus mengayuh sepeda….” Hayuchan kembali berpikir sebelum melanjutkan ujarannya. “... dan hanya itu saja.”
“Jadi, kamu tidak merasa aneh dariku?” Pertanyaan itu meluncur, lantaran Hyunseo tampak berekspektasi tinggi sesuai dengan hatinya.
“Tidak,” jawab Hayuchan kian menggeleng. “Hari-hari kita selalu berangkat dan pulang bersama, tidak ada yang aneh darimu.”
“Ah… benarkah?”
“Bukankah begini gunanya kita berteman?”
Hingga senyum kecil Hyunseo yang memudar itu kian merosot.
“Memangnya apa yang kamu pikirkan?” Tampaknya Hayuchan merasa kurang enak hati.
“Aku memang kurang peka terhadap sekitar, termasuk kamu. Kalau perihal suatu hal yang mendebarkan hatimu karenaku, aku sungguh menepis itu dan… tidak ada hubungan pertemanan yang bisa sampai mendebarkan hati satu sama lain, seperti jatuh cinta. Kita ini teman sekolah, tetangga, dan mungkin kita… akan mnjadi teman asing suatu saat. Hanya tiga hal itu saja dalam hubungan kita. Memangnya… kamu berpikir kalau aku jatuh cinta padamu setelah semua yang kita lalui selamat empat bulan belakangan?”
Semakin redup ekspresi Hyunseo secara tersurat, hingga gadis belia itu hanya menunduk. Ekspektasi tingginya merosot, menyadari tumbuhnya benih-benih cinta terhalang oleh hubungan pertemanan.
“Teman dan jatuh cinta adalah dua hal yang dipisahkan, tidak bisa disatukan.”
Kemudian, Hayuchan membuang napasnya. “Kalau kamu jatuh cinta denganku, kamu tidak bisa lagi menjadi temanku. Kalau aku boleh berterus terang, aku hanya berharap agar kita bisa terus berteman sampai lanjut usia. Soal jatuh cinta….”
Murid laki-laki itu menggeleng pelan. “Jangan berharap terlalu tinggi.”
Perlahan, Hayuchan melepaskan genggamannya dari kedua bahu Hyunseo. “Jadi, menjauhlah dariku jika kamu jatuh cinta padaku. Kita akan menjadi teman asing, tidak akan pernah mengenal lagi, dan tidak pernah akrab lagi. Memangnya kamu mau temanmu berkurang satu karena kamu jatuh cinta pada temanmu sendiri?”
Bagi Lee Hyunseo, ini terdengar seperti sedikit ancaman. Entah ancaman itu terdengar halus atau sopan. Alih-alih jatuh cinta akan mengubah status pertemanan jadi musuh, mengapa harus menggunakan kata ‘teman asing’?
Iya, teman asing.
“Tidak,” respons Hyunseo dengan sedikit lantang. “Aku tetap menjadi temanmu. Maafkan perasaan kurang ajarku ini.” Kemudian, gadis belia dengan tinggi badan 165 sentimeter itu membungkuk, menyatakan maaf dengan baik-baik.
Lagi-lagi Park Hayuchan semakin tidak enak hati, sampai-sampai perkataannya tergagap. “Jang… jangan minta maaf begitu!”
Hyunseo masih membungkuk, menyembunyikan ekspresi redupnya. Terpaksa Hayuchan kembali menggenggam kedua bahu gadis dihadapannya, agar tidak perlu meminta maaf sedalam-dalamnya.
“Wajar saja kamu jatuh cinta padaku, tapi aku memang nyaman menjadi temanmu. Kenapa… harus minta maaf?”
Park Hayuchan, bagaimana pun ia berusaha menenangkannya, pada akhirnya Lee Hyunseo memilih untuk menjauh dan menjadi ‘teman asing’.
Rutinitas mereka yang seperti biasanya kini sudah….
Berakhir.