Your Sweater is My Hug

Sigi
8 min readNov 7, 2021

--

“Gue pinjem hair dryer lo ya.”

Melihat Rawi Heru Saputra yang tengah mengeringkan rambut hitamnya dengan sela-sela jari, Rita Safitri hanya menyerahkannya dengan wajah sungut. Bagaimana tidak? Rawi mendadak muncul di depan rumah dalam keadaan pakaian atas basah kuyup. Semua salah guyuran hujan deras. Kedatangannya membuat wajah sungut Rita tak memudar, justru semakin sebal melihat kedatangannya mendadak.

“Lagian, ini udah jam sebelas malam. Ngapain lo jauh-jauh ke rumah gue? Lo cuman gangguin jam tidur gue aja,” ketus Rita saat langsung duduk di sofa kecil.

“Gue cuman mau ketemu lo aja gara-gara kepikiran ini mulu hampir seharian. Semua gara-gara Dio sialan itu!” gerutu Rawi sedikit meninggikan intonasinya karena terganggu oleh suara pengering rambut itu.

“Mending besok aja deh lo ngomongnya. Gue udah ngantuk gara-gara jam tidur gue cuman empat jam.”

Baru saja Rita bangkit dari sofa kecilnya, gadis bersurai pirang itu tak lagi mendengar bisingnya pengering rambut. Menandakan Rawi mematikan alat itu, kemudian menaruhnya pelan di atas sofa dekatnya. Rita memandang Rawi kebingungan, tetapi gadis itu tetap akan meninggalkan ruang tengah.

Rawi hanya bisa membuang napasnya sebelum ia berkata, “Gue kesini cuman buat mastiin aja kalo Dio nggak deketin lo lagi.”

Langkah kaki Rita kian terhenti, mendengar perkataan Rawi yang tenang, namun membakar cemburu. Rita menoleh ke arah Rawi dengan mata menyipit. Merasa bahwa pemuda bersurai hitam itu sedang bergurau.

“Lo berdua udah putus dan milih jalan masing-masing, tapi Dio masih suka deketin lo saat ada gue dari kejauhan. Ketahuilah bahwa Dio juga udah punya cewek pengganti lo.” Tampak nyata wajah cemburu Rawi dari ekspresi tenangnya.

“Gue nyaman sama Dio, padahal gue udah tahu kalo dia udah punya pacar baru. Bukan berarti gue juga ada niatan jadi orang ketiga dalam hubungan mereka kok. Gue nyaman dan dekat sama dia juga karena gue cuman mengobati rasa rindu gue.” Rita ternyata masih merasa nyaman berada di dekat mantan kekasihnya itu, tapi dia tidak peka melihat Rawi cemburu.

“Kenapa dia doang yang bikin lo nyaman, sedangkan lo mengagungkan pundak gue sebagai tempat sandaran? Lo lupa kalo gue selamanya jadi tempat sandaran?” dua pertanyaan keluar dari bibir tipis Rawi, mengekspresikan cemburu yang tak terbantahkan.

“Gue tahu kok, lo jatuh cinta sama gue. Bukan berarti bahu lo yang akan bikin gue luluh sama lo.”

“Berarti gue cuman dimanfaatin sama lo?”

“Bukan manfaatin lo juga, Wi.”

“Tapi lo masih ada perasaan sama Dio seolah dia tempat ternyaman lo.”

“Karena dia juga udah bikin gue nyaman dari dulu. Apa masalahnya sih?”

“Gue nggak suka liat lo sama Dio nanti balikan, Ta.”

Rita malah tertawa renyah. “Gue nyaman sama Dio juga bukan kode kalo gue sama dia bakal balikan kok. Ya… gue nggak tahu juga kenapa gue masih nyaman sama Dio.”

“Berarti lo ingin ngajak balikan kan?”

“Nggak, lho, Wi! Gue nggak ada bilang mau balikan sama dia kok!”

“Lo munafik, Rita.”

Rawi hanya memandangi Rita seolah merasa kasihan pada orang munafik.

“Lo nggak boleh bohong sama perasaan lo sendiri ketika sudah nyaman sama sesuatu. Lo tinggal meminta bantuan pada hati lo sendiri karena lo sendiri bilang gitu. Lo nyaman banget sama mantan kekasih lo, tapi lo juga memanfaatkan bahu gue buat bersandaran seolah lo lebih nyaman di sisi gue. Jadi, mana yang bener menurut lo? Nggak usah munafik sama perasaan lo sendiri.”

Rawi kemudian kembali menyalakan pengering rambut dengan tempo pelan. Rita tertegun di tempat, merasa tertampar pada segala ceramahan Rawi yang menunjukkan kecemburuan yang tersurat. Wajah tampannya muda cemburu, merasa bahwa Rawi memang pecemburu.

“Lo cemburu dong?” Rani melipatkan kedua tangannya. “Tiap kita deket, lalu Dio datang pada gue, lo langsung menghindar seolah lo nggak mau tertuduh jadi orang ketiga.”

“Kalo memang gue cemburu, lo nggak suka?” tanya Rawi.

“Gue bukannya nggak suka liat lo cemburu, cuman lo tahu sikon aja. Orang-orang ngiranya lo sama dia nggak dekat, padahal kalian pernah ngobrol asyik kayak ‘haha hihi huhu hehe hoho’. Kayak lo lebih kekanak-kanakan daripada umur lo.”

“Oke. Gue salah karena gue nunjukin kecemburuan gue secara gamblang lewat muka gue. Tapi, lo harus inget kalo gue nggak suka liat lo deketin Dio.”

Terserah apa yang diungkapkan Rawi. “Kalo menurut lo, gue ini cemburu berat, gue memang begitu kok. Kalo lo mau balikan juga, gue nggak apa-apa kok. Lo mesti inget aja kalo orang yang memberikan sandaran ini sedang cemburu, cuman orang itu memilih tetap bertahan karena orang itu nggak mau keliatan lemah.”

Bukannya menunduk atau termenung dengan segala perkataan Rawi, justru Rita malah mengomel dan menggerutu bak ibu-ibu cerewet. Tentu yang diomeli tak menghiraukannya, karena Rita dikenal tukang mengomel dan cerewet. Rita tidak mengerti apa yang salah dengannya, bahkan apa yang salah dari otaknya Rawi. Bukan karena tak merenungi kesalahan kecil yang dibesar-besarkan, melainkan itu pilihan kehidupan seseorang.

Wajar saja Rita memang masih terasa nyaman dengan kehangatan dan kedekatan mantan kekasihnya, meskipun tak dipungkiri bahwa sandaran pundak Rawi jauh lebih menenangkan. Namun, apa yang mempermasalahkan dengan sikap Rawi yang terlalu cemburu? Antara akan kembali pada mantan kekasihnya atau tidak, pun hanya pilihan di tangan Rita beserta hatinya.

Kenyataannya, melihat Rawi tidur di sofa lebar, yang berada di ruang santai, sudah membuat Rita senang. Sungguh labil dirinya. Rita seharusnya tak mengganggu tidur Rawi, tetapi pemuda itu tidurnya sangat nyenyak. Tidur tanpa selimut, melainkan hanya bantal. Dengan ekspresi tidurnya yang tampan dan tenang, ingin raaanya Rita membangunkannya.

Setidaknya jika ingin menginap di rumah orang, minta izinlah dengan sopan.

“Udah minjem hair dryer gue, sekarang malah nginep di rumah gue. Lo itu gembel apa pemulung?” gumam Rita seraya mendecak kesal.

“Lo ngusirin gue?” Ternyata indera pendengaran Rawi lebih tajam, membuat Rita mengutuk dirinya sendiri.

“Lo bisa juga dengerin gue ngeluh.”

“Lo pikir gue tidur beneran? Nggak. Gue cuman mencoba buat merem.”

Rita berdecak kesal. “Sialan. Harusnya gue nggak usah mampir ke ruang santai.”

Mendengar gumaman Rita, sejenak Rawi bangun dari sofa lebarnya. Ia duduk dengan menyilangkan kakinya, kemudian melipatkan kedua tangannya di dada. Rawi masih tidak mengerti dengan pemilik rumah minimalis nan sederhana dihadapannya. Memang rumah yang ia kunjungi milik Rita, bahkan dalam sertifikat hak guna bangunan pun tercatat atas nama lengkap Rita.

Rawi tak ada masalah dengan itu, tetapi ia mempermasalahkan kelakuan Rita yang selalu membuatnya kesal.

“Memangnua, lo mau ngapain, sih?” ketus Rawi.

“Kalo lo mau nginep di sini, seenggaknya izin dulu,” balas Rita sembari menyandarkan sebelah bahunya di ambang pintu.

“Lah, kan, gue udah ngirim WhatsApp ke lo kalo gue juga sekalian nginep di sini karena hujan.” Rawi menekankan setiap kata untuk membuat Rita mengingatnya.

“Masa sih?” Rita mengambil ponsel dari saku celana piyamanya, menangkap ada banyak pesan masuk, termasuk Rawi. Sosok Rita yang tukang cerewet bahkan tak pernah mengintip beberapa pesan singkat dari WhatsApp.

“Dan lo nggak bacain pesan gue. Dasar pemales.”

Rita hanya mencengir kecil, kemudian meminta maaf dengan ketusan. Tentu saja sang pemilik rumah itu masih tidak ikhlas harus membiarkan seorang pria menumpang tidur di rumahnya. Namun, Rita tak memikirkan keadaan di luar rumah yang masih hujan.

“Ya udah, pergilah dari sini. Gue mau balik tidur.” Baru saja Rawi hendak terbaring kembali, namun panggilan Rita menghentikannya.

“Lo tidur nggak pake selimut, bahkan lo cuman pake baju kaos pinjeman punya gue yang kekecilan di badan lo. Apa lo nggak kedinginan?”

Memang benar.

Rawi senyatanya sudah terbiasa tidur hanya dengan mengenakan baju kaos lengan pendek. Di rumahnya, ia selalu merasa sejuk tanpa mengeluh kepanasan atau kedinginan. Melihat dirinya yang kini hanya mengenakan celana piyama hitam yang tak terpakai dan baju kaos putih berlengan pendek, Rawi ternyata selalu memeluk dirinya. Pantas saja kenapa ia menjadi sulit tidur.

Suhu di ruang santai Rita sedingin kulkas atau kantor bank.

“Tuh, kan, lo menggigil jadinya. Di luar rumah masih hujan deras. Udah lo tidur nggak pake selimut, lo pikir bakalan betah?”

Rita melangkah masuk ke dalam ruang santai sembari menyambar sweter abu-abu, yang tergantung di belakang pintu. Gadis bersurai pirang itu melemparkan sweter ke arah Rawi hingga pemuda berperawakan tinggi itu terhuyung ke belakang. Rawi lantas memprotes, karena tekanan lemparan Rita lumayan kuat.

“Pake aja sweter gue. Udah lama gue nggak pake sweter karena gue cuman pake itu kalo lagi kedinginan aja.” Rita hendak meninggalkan ruang santai.

“Terus, lo nggak pake gitu?” tanya Rawi kiam menghentikan langkah Rita.

“Gue masih punya banyak sweter di kamar gue,” jawab Rita sebelum berniat kembali ke kamarnya.

“Makasih, Ta.”

Ucapan Rawi kembali menghentikan langkah Rita. Dan untuk pertama kalinya pemuda itu melebarkan senyum manisnya, membuat kedua pipi Rita mulai memerah. Bukan karena ia tersipu malu, melainkan senyuman Rawi kian memghangatkan suhu dingin di ruamg santai.

“Lo coba pake sweter gue itu,” intonasi Rita sedikit memerintah, kemudian Rawi mengenakan sweter itu sedikit kesulitan. Ukuran sweater Rita cukup sempit untuk tubuh Rawi yang cukup berotot.

Rawi kini terlihat menarik dengan mengenakan sweter abu-abu model turtle neck. Ditambah lagi surai hitamnya yang hampir menutupi matanya, yang diciptakan sempurna. Bagaimana tidak? Tidak mungkin orang setampan Rawi memang memikat di mata Rita. Memandangi wajah Rawi selama semenit, dua menit, hingga lima menit, pun tetap terlihat menarik.

“Udah nih.” Rawi menunjukkan dirinya yang sudah mengenakan sweter abu-abu, yang juga telah menutupi tengkuknya. “Gue udah boleh tidur nih— ”

Perkataan Rawi kian terpotong kala Rita ikut melangkah masuk dan menghampirinya dengan langkah tergesa-gesa. Lebih mengejutkan lagi ialah Rita mendadak memeluk Rawi lebih erat. Rawi merasa bingung, untuk pertama kalinya Rita akhirnya memeluknya seolah Rawi telah memberikan kenyamanan yang tenang. Meskipun begitu, Rawi akhirnya membalas pelukan Rita tanpa mengetahui alasannya.

Lihatlah gadis bersurai pirang dan bertubuh langsing yang katanya lebih nyaman berada di dekat mantan kekasihnya. Entah apa yang membuat tubuh Rawi menjadi magnet sehingga Rita langsung menghamburkan pelukannya. Biarkan Rita masih menginginkan kehangatan dari tubuh Rawi, yang kini dibaluti sweter abu-abu. Nyatanya yang dipeluknya itu hanya tersenyum kecil.

“Gue nyesel sama perkataan gue barusan,” ujar Rita disela-sela ia masih memeluk Rawi, “Karena mantan gue ternyata nggak mau mengenakan sweter gue. Gue sengaja menggantungkan sweter itu agar gue bisa ikut berbagi kehangatan dengan cara memeluk.”

Apakah Rawi paham sekarang dibalik perkataan Rita?

“Melihat lo pake sweter gue, di situlah gue bisa berbagi kehangatan sama lo.” Rita kemudian melepaskan dekapan dari Rawi, saling berpandangan dengan artian tatapan yang berbeda.

“Jadi, lo sengaja nggak pake sweter ini agar lo bisa meluk gue gitu?” tanya Rawi mencoba untuk mencerna.

“Kayaknya, lo kedengeran nggak nyaman dengan perkataan gue ini.” Rita menunduk kian murung.

“Nggak gitu.” Rawi tertawa kecil seraya memegang bahan sweter Rita, yang kini ia kenakan. “Gue pake sweter lo juga udah gue anggep lo meluk gue kok. Jadi, kalo ditambah lo sendiri meluk gue, pun gue udah nggak kedinginan lagi.”

Bagi Rawi, memang sweter menghangatkan tubuhnya, seperti merasa dipeluk. Baru sejenak ia mengenakan sweter itu, ditambah lagi Rita langsung memeluknya untuk memberikan tambahan kehangatan. Bukan kehangatan lebih yang Rawi dapatkan, melainkan ia merasakan jantungnya berdebar. Ditambah lagi Rita yang pernah bersandar di bahunya, kini ditambah lagi mendadak dipeluk.

“Maaf, ya, kalo gue udah bikin lo cemburu, tapi lo juga ada gunanya bikin gue tenang. Makanya, dengan gue suruh lo pake sweter, ditambah lagi gue bisa meluk lo, pun udah bikin gue hangat dan nyaman.” Lagi-lagi perkataan Rita itu dibawa-bawa lagi. Ingin rasanya Rawi membungkamnya.

“Gue nggak bakal balikan sama Dio. Nggak usah panik gitu, Wi.” Rita sudah mengetahui pikiran Rawi sekarang.

“Seriusan?” tanyanya kurang yakin.

“Gue juga nggak bakalan pacaran sama lo kok,” jawaban gadis itu bisa merusak perasaan Rawi.

“Terus, gue ini apa bagi lo?”

“Bagi gue, lo adalah sweter yang bikin gue nyaman sama lo.”

“Jadi, nggak usah pacaran juga lo tetap nyaman sama gue?”

“Iyalah. Lo, sih, orangnya cemburuan mulu sama gue.”

“Kalo gue jadiin lo pacar, lo mau nggak?”

Bukannya menjawab pertanyaan Rawi, Rita hanya kembali menempelkan dahinya ke arah sebelah bahunya. Rita hanya butuh rasa nyaman tanpa melibatkan perasaan romantis apapun. Merasa nyaman di sisi Rawi saja sudah cukup. Cukup hanya Rita yang menginginkan kenyamanan, yang sudah cukup membuat jantungnya berdebar.

Sama dengan Rawi, yang kini tersenyum kecil seraya mengelus puncak kepala Rita.

“Lo bener,” balas pemuda itu kian melirih, “Sweter lo adalah pelukan gue.”

Hingga mereka masih menikmati sisa malam yang manis sebelum memutuskan untuk kembali ke habitat masing-masing. Rita membiarkan Rawi tetap mengenakan sweter miliknya sepanjang tidur. Sudah seperti memeluk Rita ketika Rawi tidur dalam keadaan telentang menghadap ke sandaran sofa. Meskipun matanya tetap sulit terpejam, setidaknya sweter selalu menjadi penghangat bagi Rawi dan merasakan tidurnya menjadi nyenyak.

END

--

--

Sigi
Sigi

No responses yet